Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Sebuah ucapan

Akhir Agustus lalu aku ingat dia berulang tahun Tidak kuucapkan padanya Tapi kuucapkan dalam hatiku saja Aku membuka percakapan kami di salah satu media sosial Oh, tahun lalu aku masih mengucapkannya Seperti biasa, dia membalasnya sehari setelah aku mengucapkan Ucapan "terima kasih" Natal tahun ini, aku juga tidak mengucapkannya, tahun lalu juga tidak Bukan tidak ingat Rasanya sudah enggan, sudah tidak layak saja Tapi selang sehari setelah natal Sebuah pesan masuk ke ponselku, "mamak nanya kabarmu. Sehatnya kau? Uda kubilang sih sehat" Aku terhenyak beberapa waktu. Akhirnya kubalas menyatakan sehat dan menyampaikan selamat natalku Kubuka kembali percakapan kami Ya, Terakhir, 26 agustus 2018 Inong surbakti, masih nama yang sama Tidak kuganti

The Rain - Ujung Pertemuan

...  Jika inilah akhir cerita kita Tak perlu khawatir kan aku Bila kau bahagia Aku pun bahagia Judul lagu ini beberapa kali muncul di halaman muka youtube ku. Tidak pernah kudengarkan entah karena apa. Video lagu ini baru saja diunggah tanggal enam november lalu. Lalu sore ini kudengarkan sambil tetap mengerjakan pekerjaan kantorku. Tapi beberapa lirik membuatku berhenti bekerja dan mendengar dengan seksama liriknya. Bagus sekali. The Rain tidak pernah mengecewakan. Selalu langsung menggores luka hati lama. Entah bagaimana mereka melakukannya. Kalimat yang sejak dulu tidak kumengerti ada dilirik lagu mereka. Bila kau bahagia.  Aku pun bahagia Bagaimana bahagia jika subjek penghasil kebahagiaan itu kini bahagia bersama yang lain? Lalu aku merasakannya. Belajar merela dan menerima hingga sampai tahta tertinggi, aku bahagia dengan kebahagiaan dia yang dulu pernah singgah dan memupuk harapan besar namun kini sudah bersama yang lain. Saat berpisah dulu, hal pertama y

bercakap

Halo, apa kabar? Rasanya sudah lama kita tidak bercerita ya. Ada apa? Rasanya banyak yang disembunyikan. Menjadi dewasa memang menyebalkan, aku tau. Tapi kan seru, adrenalin payah dalam diri dipaksa bergejolak. Hahahaha... Kenapa sekarang lebih senang sendiri? Jangan terlalu menikmatinya, ah ! Bukan dirimu sekali ! Tidak baik, tau ! Aku tau kau sudah banyak dikecewakan, sudah kubilang jangan banyak berharap pada orang lain. Kau memang bilang kau bisa melakukannya, tapi hatimu tetap saja bertolak belakang. See? Bagian ini saja kau masih bertengkar dengan diri sendiri, bagaimana kau ini? Tahun ini akan selesai. Katanya kemarin kau sempat menilik ke belakang dan menyesal. Tidak apa dan tidak usah berlarut. Kalau memang Yang Diatas memberi kesempatan, kau bisa memperbaikinya tahun depan. Bagaimana? Membacalah lebih banyak lagi. Olahraga lebih sering lagi. Makan sehat ga boleh lupa. Bodo amatnya dikurangin dong. Sudah ya. Nanti kita bercakap lagi.

pagi ini

Pagi ini menjadi pagi yang sangat menyebalkan. Aku mengingat hal menyebalkan yang dilakukan adikku tadi malam sebelum tidur. Kebiasaanku, kalau kekesalanku tidak kulampiaskan dengan marah, aku akan menangis. Tapi akhir-akhir ini aku belajar untuk memendam, berharap luruh bersama malam. Tapi ternyata tidak. Pagi ini, aku sampai berujar dalam hatiku, "anggap aja adikmu tidak ada, dari pada kau harus marah". Dan kulakukan. Oh, pacarku kena imbasnya. Rasanya aku cuek sekali tadi malam. Dan pagi ini aku tidak mengiriminya pesan apa pun. Kondisi hatiku masih tidak baik. Aku hampir terlambat untuk bertemu seseorang. Saat terburu-buru sifat teledorku meningkat seratus kali lipat. Waktu merapikan rambut, antingku jatuh, entah kemana, aku kesal pada diriku sendiri. Lalu kucoba cara jitu untuk menenangkanku, berbicara pada diri sendiri, "tenang, pelan-pelan carinya, ada kok, coba lihat lagi pelan-pelan". Ya aku bergumam sendiri, ketemu. Sebelum meninggalkan ru

Pamungkas - Monolog

Alasan masih bersama Bukan karena terlanjur lama Tapi rasanya yang masih sama Seperti sejak pertama jumpa ... Aku mendengar lagu ini kembali ketika seorang teman membagikan lagu ini di media sosialnya. Kemudian secara acak, aku mengingat cerita seorang teman beberapa waktu lalu. Dia sedang mendekati seorang gadis. Gadis itu tidak menolak untuk didekati. Penilaianku begitu.  Tapi aku tau tipe temanku ini. Bukan lelaki yang memborbardir perempuan dengan perhatian dan menunjukkan bahwa ia mencoba mengejar perempuan itu. Lalu kutanya, "sejauh ini uda gimana?" Setelah menjelaskan sedikit yang membuat aku mengambil kesimpulan bahwa perempuan itu tidak menolak didekati, dia berkata, "terakhir aku suka pacarku sebelumnya, dia selalu ada dipikiranku. Tapi ini ga" Cerita lain lagi, seorang perempuan menjalin sebuah hubungan dengan lelaki. Hampir empat tahun. Lalu berpisah. Kutanya kenapa begitu  kekeuh  mempertahankan? Dia bilang, "Kau tau bagaimana rasanya se

Perasa

Melatih diri untuk menjadi perasa, kembali, ternyata adalah sesuatu yang sulit Aku kemudian merasa menyesal kenapa dulu sekuat itu berusaha menjadi tidak perasa Mengandalkan logika lebih banyak ketimbang perasaan Sekarang terasa jahat Tidak memperhatikan perasaan orang lain bahkan perasaan diri sendiri Membiarkan orang merasakan senang atau sedih kemudian diri sendiri tidak bergeming karena tidak merasakan apa pun Lalu ada yang mencoba menilik rasa dalam hati Sepertinya beliau berusaha Dan aku membalas rasa, kucoba dan sulit Sekarang aku ingin menjadi perasa, kembali, supaya aku tau banyak hal manis yang diucapkan dan dilakukan memang berdasarkan hati dan memang hendak menyentuh hati Mengurangi kadar logika supaya perasaan punya andil lebih besar Mungkin berbuah baik

Kemarin, Hari Ini dan Selamanya

Aku meninggalkan negara ini. Bermodalkan paspor dan keinginan memulai semuanya dari awal. Aku membiarkan ragaku dibawa kapal terombang-ambing di lautan lepas. Entah sudah berapa lama. Kemudian aku tau bahwa aku melewati Terusan Suez, berbelok sampai ke Benua Eropa. Orang-orang disini tidak seramah yang dipikirkan. Aku harus punya sesuatu yang membuatku bisa bertahan. Mengerjakan semua jenis pekerjaan demi bisa menyewa flat kecil berisi kasur lipat tidak empuk tempat meletakkan lelah melewati hari. Toh, aku bisa bertahan. Lima tahun pertama aku mendengar kau menikah. Aku patah untuk yang kesekian kalinya. Aku tersenyum bahagia sebenarnya. Kemudian aku melewati beberapa minggu merutuki tuhan yang menuliskan takdir yang salah dalam hidupku. Sekarang apa lagi yang membuatku bertahan jika satu-satunya pertahananku sudah menyerahkan hatinya terpenjara oleh orang yang tidak pernah kutau sama sekali? Sepuluh tahun, orang tuaku menyusulku kesini. Tidak kubiarkan mereka tinggal di flat tua

sampah pikiran tanpa judul

Rindu Kenapa kini terdengar angkuh? Enggan untuk dimadu dengan temu Sudah lama Bertukar rasa membalur sukma Tidak berbalas dan tidak mengharap Juga tidak apa Bagaimana mendengar oleh si tuli? Bagaimana berucap oleh si gagap? Bagaimana mencinta oleh hati yang sudah pasrah? Menetap aku menunggu jawab Olehnya yang entah akan datang atau menunda Gamang seperti melayang Tarik saja takkan melawan Disini Kau tau aku menetap untuk ditatap Kemudian rebah menaruh kepala Mari membiarkan raga beristirahat Di dimensi yang berbeda kita bisa mendekap Lalu kemudian menyungging senyum tanpa berucap Ceritaku sudah indah, denganmu Kau, tak usah berkata apa-apa Sudah kudekap kau tidak kulepas

Selamat

Suaranya berat, memang begitu. Rekaman lima tahun lalu bernyanyi di telingaku. Aku tidak bereaksi apa pun saat melihat foto atau videonya, biasa saja. Tapi rekaman suara itu langsung meluluh-lantakkan semua pertahananku. Air mataku menetes, tidak sampai sesenggukan seperti waktu dulu. Ada hangat yang menghisap habis darah dalam hatiku, menjadikannya kaku. Lalu kini, Tiga doa yang sama tetap kulantun di pergantian hari Hanya satu kata yang diubah dari "kita" menjadi "mu" Semoga keluargamu sehat Semoga kuliahmu lancar Semoga hubunganmu selalu diberkati Tuhan Selamat ulang tahun.

Aku yakin aku sedang rumit. Rumit dengan diriku sendiri.

Akhir-akhir ini aku merasa hidupku baik-baik saja. Aku sampai pada titik dimana aku tidak butuh apa-apa, tidak butuh siapa-siapa. Lalu beberapa malam kemarin, entah bagaimana aku mengatupkan kedua tanganku, merangkai jemari membentuk posisi berdoa yang selama ini diajarkan ayah ibuku. Aku tersentak. Nyaman sekali ! Rasanya sudah lama sekali tidak merasakan nyaman ini. Percayalah aku tidak mengatakan apapun, hanya menyatukan kedua tanganku. Lalu ada rasa rindu. Rindu untuk bercerita dalam diam dan mata tertutup. Oh, sudah lama sekali tidak melakukannya. Aku yakin aku sedang rumit. Rumit dengan diriku sendiri. Lalu pagi kemarin, aku yang terbiasa mengabaikan push notification dari aplikasi renungan pagi di ponselku, membukanya. Mulai mendengar suara yang entah siapa membacakan isi kitab suci dan membawakan renungan yang entah sudah berapa lama dipersiapkan olehnya. Aku diam, mendengar. Setelah selesai, aku tersenyum. Aku tidak sedang baik-baik saja, aku sedang kosong. Aku

A Sorry For An End

Kau tau kenapa aku menyukainya? Karena dia pendiam. Tidak banyak bicara. Dia membuatku merasa senang ketika akhirnya aku berhasil membuatnya banyak bercerita. Dia tidak melakukan hal itu pada banyak orang. Lalu kenapa kau masih gelisah? Dia masih menghubungi mantan pacarnya. Kau bilang itu tidak menjadi masalah. Justru kau bisa menerima karena dia sudah jujur. Dia sudah bilang bahwa tak ada jalan lagi untuknya dan mantannya. Apa lagi yang kau gelisahkan? Aku perempuan. Rasanya aku sedang menyakiti perempuan lain ketika aku tertawa berdua bersamanya. Aku sedang belajar tidak peduli pada perasaan orang lain waktu itu. Lalu? Aku bisa. Dan aku merasa aku jahat. Apa itu alasan kalian berspisah? Tidak. ... Aku tidak mengabarinya dan dia melakukan hal yang sama. Enam bulan. Kemudian aku menemukannya sudah bersama perempuan lain. Bukan dengan mantan pacarnya itu. Dengan perempuan lain. Yang ternyata aku kenal juga. Kau pasti melakukan sesuatu setelah tau kabar ini? Y

Pongahku

Tadi malam sebelum tidur aku membuka kontakmu di Whatsapp. Aku tidak berencana membaca rentetan percakapan kita disana. Aku membuka media, melihat beberapa gambar yang saling kita kirimkan. Aku berhenti di beberapa gambarmu yang kau kirim padaku. Aku tersenyum, sesekali mengelus bagian pipimu difoto itu. Bagaimana bisa aku menyayangimu dan sekarang memutuskan berhenti? Bodoh sekali aku! Tidak semua orang tau bagaimana manjanya aku ketika aku memutuskan menjatuhkan rasa sayang ini pada seseorang. Tapi aku benar-benar sudah memberitahumu saat pertama kali kita dekat. "Tidak apa", katamu. Dan aku melakukannya padamu. Aku kadang kesal dengan rasa manjaku tapi entah bagaimana aku tetap melakukannya padamu. Dan kau selalu menanggapi sesuai kadar. Aku senang. Kadang kau terlalu banyak bercerita. Kadang aku malas mendengarkan tapi begitu pun aku masih tetap mendengarkanmu. Walau jujur saja beberapa ceritamu lewat begitu saja. Hahaha... Kadang egoisku separah itu. Tapi percayal

Tanpa Judul

Entah bagaimana kau mendapatkan aku sebelum aku melakukannya Kau menatap dan menghujam Aku melihat dan tak mampu mengontrol raut dan ekspresi Seketika kelebat kejadian menari di kepalaku Tatapanmu tadi campuran antara marah, sakit dan tak merela tapi berusaha tegar Maaf... Inginku mengucapnya. Lalu hati dan pikiranku kembali beradu marah Sadarku tak mampu melerai Sakit sekali ketika mereka beradu seperti itu di dalamku Aku gamang Ingin sesuatu yang aku tak tau apa Yang kutau aku ingin menangis atau melupa saja Hatiku benar ingin kau kembali, mendekapmu dan tidak melepasmu Tapi pikiranku menghasut dengan kejadian yang sudah terjadi dan tidak mampu termaafkan Tidak, kau tidak punya ruang lagi, begitu teriak pikiranku Aku tau aku pernah melalui hal ini dan berat sekali Aku perlu puluhan malam untuk tertawa dan menangis sendiri Merutuk tak mengampuni diri sendiri Hina sekali rasanya Jika aku harus melakukannya lagi Tidak, aku tidak mau ! Tidak, itu menyakitkan

Kita tidak untuk waktu yang lama

Suatu saat nanti aku akan menyakitimu, pasti. Bolehkah aku memohon maaf sekarang, sebelum hal itu terjadi. Aku sepertinya tidak akan termaafkan. Aku memikirkannya saja sudah merasa bahwa aku kejam. Aku hanya tidak punya pilihan lain di situasi itu. Menyedihkan sekali menjadi aku. Lebih menyedihkan lagi menjadi kau yang tidak berhak menerima tapi kupaksa menikmati Menikmati hal yang tidak akan kau suka Maaf sudah menyakitimu. Rasanya sudah saja, Kita tidak untuk waktu yang lama.

Sisi Lain dari Sebuah Kehidupan yang Biasa

Kemarin pacarku singgah ke sebuah kafe. Dia menemui seorang perempuan. Dia sedang di kota lain pada saat itu. Dia menceritakan padaku bahwa dia akan bertemu seorang perempuan lewat pesan singkat. Teman, katanya. Dia baru meneleponku lewat tengah malam setelah dia pulang ke rumah. Dia hendak menceritakan tentang perempuan itu. "Besok saja", kataku, "otakku tidak bisa diajak berpikir keras malam ini. Istirahatlah." Akhirnya pacarku kembali ke kotaku. Kami bertemu dan bercerita. Perempuan itu adalah salah satu topik pembicaraan kami. "Dia adik tingkatku dulu di kampus. Dia sedang sakit", jelasnya memulai pembicaraan tentang perempuan itu. "Sakit apa?", tanyaku. "Depresi. Sekarang masih rutin ke rumah sakit jiwa." "Dia konsumsi obat?", pasien psikiater ternyata. "Iya, sekarang sudah masa pemulihan. Masih butuh konsumsi obat. Tapi tidak sebanyak dulu. Dulu dia harus konsumsi enam sampai tujuh jenis obat. Sekarang sud

Jatuh Cintaku Salah

Rasanya ingin berteriak "jangan membuatku nyaman !" Tidak bisa memilikimu menjadi kesakitan sendiri nantinya Rasanya kita ingin bersama tapi takdir tidak memperbolehkan Kita tau takdir akan berseberangan dengan ingin kita Tapi kita masih memilin tali menjalin kasih Rasanya takdir tidak adil Tapi kita tau pada akhirnya kita hanya bisa berserah pada takdir Entah seperti apa cara kita tidak bersama Rasanya hangat sekali, pernah boleh nyaman denganmu

Tak Bersentuhan

Senja sore ini mungkin bukan favorit orang-orang. Tapi aku mengambil satu sudut untuk menikmatinya, sendiri. Lalu imajinasiku melanglangbuana, liar sekali, entah kemana. Dan berhenti di kamu. Aku tidak ingin pergi dari imajinasi ini. Berdiri, di depanmu. Kau diam, tidak bergerak. Lalu kedua tanganku mulai menyentuh pipimu, menggerakkannya pelan dan merasakan kulitmu yang tidak mulus. Aku tersenyum setiap kali ingatanku berpaut dengan gerakan tanganku. Aku masih ingat detail wajahmu, semuanya. Kau mulai menutup mata, menikmati setiap sentuhan. Dulu kau pernah melakukannya, aku tau, kau suka. Pelan aku mendekatkan wajahku ke wajahmu, hingga aku bisa merasakan desahan nafasmu yang masih berirama. Kau masih menutup matamu, aku tau kau merasakan bahwa wajahku sudah dekat sekali. Aku mengecup keningmu, kemudian berpindah pada mata kanan dan kirimu yang tetap tertutup. Kau tersenyum. Sekarang kedua tanganku berada diantara telinga dan lehermu. Lalu ku kecup pipi kana

Akhirnya dia menikah. Tidak denganku. :smile:

Aku menghabiskan waktu beberapa bulan dengan seorang pria. Menjadi teman cerita. Dia bercerita banyak sekali. Tentang perjalanannya mengelilingi beberapa negara, tentang keadaan hatinya, tentang rencana masa depannya, tentang beberapa hal yang ingin dihilangkan tapi masih menetap. Akhirnya dia memilih tempat baru. Jauh dari tempatku sekarang. Ini sebenarnya bagian dari rencana masa depan yang sempat diceritakannya padaku. Hari ini, aku mendapat undangan pernikahan dari seseorang yang sempat merajai hati pria itu. Aku mengucek mata, seakan tak percaya, berulang kali kulihat undangan itu. Ya, wanita ini akan menikah, tidak lama lagi. Ada sesuatu yang mengalir sangat deras dengan tiba-tiba di hatiku. Entah apa. Mungkin, karena aku tau cerita mereka. Aku membuka kontak pria ini, mengiriminya pesan, "Udah dapat undangan?" "Dari siapa ?" "Mantan 😬" "Belom haha. Ga diundang 😂" "Zzzzz... aku baru dapat undangannya. xoxoxoxo...&qu

Aku memilih mundur KARENAMU

Aku memilih mundur KARENAMU Karena kau belum selesai dengannya Dan dia pun demikian Kau tidak pernah benar-benar melepaskannya Postinganmu di media sosial yang menyatakan demikian Biarkan aku berspekulasi Tapi dari situlah aku melangkah mundur Perlahan namun pasti Tidak mungkin aku membiarkan bunga dalam hatiku mekar Sementara yang menyiram enggan memberikan waktunya Jadi aku merela Tidak apa, aku sudah terbiasa Entah bagaimana akhirnya kalian Aku tidak tau, dan tidak ingin Aku berjalan ke jalur yang lain Semoga tidak bertemu dengannya Yang masih menaruh harap pada langkahmu Terimakasih sudah membuatku yakin untuk mundur tanpa harus berkorban lebih banyak Karena aku tau usaha itu akan sia-sia Salam, untuk priamu dulu yang sempat membuat kuncup bunga seakan hendak mekar lalu kupaksa layu perlahan

MENOLAK

Kini pekerjaanku MENOLAK entah bagaimana, membatin untuk menolak tidak dapat kuhindari jika sudah ada yang memulai, maka aku juga mulai membangun tembok secepat mungkin dan setinggi mungkin supaya tidak ditembus, tidak dipanjat ini menjadi mengerikan karena sesudahnya memikirkan mengumpulkan beribu cara untuk menolak enggan tapi tak mau menyakiti perlahan tapi kemudian menghilang sudah terbiasa diperlakukan begitu maka kini giliranku jahat tapi harus dilakukan giliran tidak ada penolakan ada dari sisi yang berseberangan yang memanfaatkan lalu ingin dipertahankan tanpa mau berjuang tidak masanya lagi bagiku begitu aku tidak bisa begini membuat penolakan menduduki tahta mengalahkan rasa ingin ini sampai kapan?

Kenangan dalam Rumah yang Dirobohkan

Gambar
Hari ini 18 Februari 2019, rumah kami dirobohkan. Kami sekeluarga sepakat untuk membangun kembali rumah itu. Rumah itu sudah berusia delapan belas tahun. Mama mengirim gambar dan video rumah itu dirobohkan, pilu sekali rasanya. Rumah yang kutinggali dengan sejuta kenangan bersama bapak, mama dan adik-adikku. Waktu melihat beberapa gambar rumah yang dikirimkan Mama, rasanya separuh kenangan dalam hidupku menguar ke udara menghasilkan kelenjar air mata yang berlebihan. Kenangan-kenangan itu, ah, cepat sekali waktu berlalu ! Rumah kami bukan rumah yang besar. Satu buah ruang tamu dengan dua kamar tidur. Kemudian dapur dan satu kamar belakang yang dijadikan gudang dan dua kamar mandi. Sudah, itu saja. Aku ingat waktu pertama kali pindah ke rumah itu, ada rasa sedih meninggalkan tempat yang lama, senang karena rumahnya lebih bagus dari kontrakan sebelumnya, terkejut karena banyak anak seumuranku yang bisa dijadikan teman. Aku berusia tujuh tahun waktu itu, kelas dua SD

Selingan Menuju Sabtu Malam

Aku tidak menyesali keadaan yang kini membungkusku rapat Mengungsi dari keramaian pekat yang biasa ku suka Tentangmu tidak lagi sering singgah, aku juga sudah tak terbiasa mengundang Sudah lama kita tidak saling sapa dan tidak berusaha Memang sebaiknya begitu Belum lagi sudah ada hati yang harus kau jaga Jangan tanya aku Kau sudah tergantikan Tapi entah oleh siapa Akan ada hati yang menjagaku, nanti Menggantikanmu dan semoga ia berkenan menetap Tapi entah kapan Cerita yang pernah kita upayakan semoga dilanjutkan oleh dia yang kini menggenggammu erat Seperti aku saat mengumandangkan hatiku dipenjara olehmu, dulu Kini langkah yang seharusnya seirama denganku memilih arah lain Ditarik gravitasi dan enggan menolak Semoga perjalanan menuju muara Menjatuhkan kita pada pilihan : Bersyukur pernah saling mengenal, menggenggam, dan kini, melupa

Kau, Masa Lalu Priaku yang BELUM Selesai

Sebelum aku memutuskan menulis ini, aku mencoba untuk menjadi dirimu. Maksudku ada di posisimu jika seorang perempuan menyampaikan ini padamu. Aku tidak mendapatkan gambaran. Aku benar-benar tidak mengenalmu. Hanya tau namamu dan sedikit cerita tentang kau dan dia. Karena aku tidak peduli, awalnya. Dan seharusnya selalu begitu. Tapi keadaan mengubahnya. Mungkin kau tau maksudku. Ya, aku bersama priamu, sekarang. Aku, entah dipilih atau memilih, sedang mencoba menciptakan dan menjalani apa yang pernah kalian lewati dulu, dengan cara kami berdua. Sesuatu mengusikku belakangan ini. Kau dan dia, kalian, masih menjalin komunikasi. Tidak salah, tapi kurang pantas. Maksudku ini bukan tentang dia saja, ini tentang kau. Kau dan priaku punya satu kesamaan, saling menginginkan tanpa pernah lagi bisa bersama. Kau cukup tau alasannya. Dan kalian saling menyadarinya. Aku yang masih menjadi bayang-bayang diantara kalian sedang berkecamuk dengan pikiran sendiri, apa aku harus menyerah pada kami

Fase Asmara, katamu? Ah, tidak

Melewati fase asmara adalah hal yang menyenangkan. Diselingi dengan sakit hati, lalu menemukan tambatan hati kembali menjadi hal lumrah. Paling tidak, sampai pertengahan usia dua puluhan... Mengambil langkah besar untuk sebuah fase kehidupan selanjutnya yang disebut pernikahan adalah hal yang berani, dan hebat. Tidak semua orang siap untuk hal itu di pertengahan usia dua puluhan, atau lebih. Aku sudah melewati fase asmara dan bosan. Aku sedang tiba pada fase mati rasa. Bukan berarti aku tidak membuka hati untuk sebuah hubungan dengan lawan jenis. Hanya saja, kali ini belum ada yang mampu menembus batasan perasaan manusiawiku yang hendak diubah jadi cinta. Belum ada. Beberapa yang sempat singgah, kubiarkan coba masuk untuk kemudian kuusir. Kesannya memang kasar. Tapi bukankah lebih baik begitu daripada kutahan lebih lama untuk kemudian menjadi sakit untuk dia. Mencoba, tidak cocok, kuusir. Lalu di satu waktu, aku berhenti pada satu hati. Yang mengusahakan aku dan kusambut