Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2015

Aku rindu hujan

Aku rindu hujan. Hujan diantara rumput hijau dan danau biru. Aku rindu pelangi sehabis hujan. Yang mengembalikan burung-burung putih untuk mengelilingi semak setinggi aku. Yang membawa pulang burung-burung putih untuk menutup hari di sarang. Yang membuatku tersenyum karena khayalan pada pangeran danauku sedang menari lincah. Aku rindu hujan. Yang sekarang menyadarkan aku bahwa ia sangat indah. Yang ternyata benar-benar menggoyahkan perasaan untuk berkecamuk akan kerinduan pada seseorang yang beratus bahkan beribu mil jauhnya dari aku. Aku rindu hujan. Yang kadang menyatukan kami dalam diam. Yang sebenarnya membuat rasa manja terpupuk dan berkembang tanpa bisa dihentikan. Hujan... Yang kadang membuat sayap burung putih basah namun tak menggigil. Yang kadang membuat hati termenung dan menciptakan sebentuk senyum.

Kerinduan di Akhir Senja [4]

"Dia hubungi Intan lagi kak. Kakak kan tau gimana kerasnya Intan mau melupakan rasa bersalah Intan. Intan ga mau liat dia nangis kayak kemaren lagi" "Tapi sekarang malah kamu yang nangis", kata Arif menimpali. Intan sudah mulai mau bercerita setelah ia terlihat tenang. "Ya biarin aja. Aku jahat tau kak. Aku ga pernah liat cowok nangis demi ceweknya. Dia lakuin itu supaya ga pisah sama Intan. Dia tulus. Intan aja yang bego. Kayak mudah aja melepas dan mengubur semua ketulusan hati dia." "Mulai deh dramanya", Arif melengos. Jika ia membiarkan Intan meneruskan ceritanya, pasti satu malam itu Intan akan mengulang semua kenangan-nya bersama pria yang membuatnya menangis itu. "Yauda gini aja. Yuk ikut aku", Arif menarik tangan Intan ke kamarnya, "Foto ini, simpan ditempat yang ga bakal kamu liat lagi, atau kalau perlu, buang", Arif mengambil foto Intan dan pria-nya itu yang masi bertengger manis di meja belajar Intan. "Gima

Pergilah, Ma..

Kecelakaan itu membuat dia yang sangat kusayangi, koma, tidak sadar, Mama. Aku tidak tau seperti apa yang dirasakan mama saat itu. Ia duduk dikursi paling ujung angkutan umum itu dan kereta api itu secara cepat melaju dan menabrak angkutan umum yang dinaiki mama, tepat menghantam bagian belakang angkutan umum itu. Aku? Shock, takut, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa secepat kilat terbang menyebrangi pulau Jawa untuk sampai diujung pulau Sumatra sana. Bidadari kecil dan pangeran kecilku hanya bisa menangis disebrang telepon sana. Aku tidak bisa menahan semuanya, aku tidak bisa menangis. Aku tidak mungkin semakin menghancurkan harapan bidadari dan pangeran kecilku, adik-adikku, dengan tangisanku juga. Keluargaku yang lain menjadi perpanjangan tanganku untuk merawat mama dan menenangkan adik-adikku. Aku hanya bisa mengandalkan doaku. Berhari-hari keadaan mama naik turun. Kadang sudah mulai normal dan kadang down kembali. Mama belum sadar. Tidak lagi dapat

08November2015

Papaku katolik. Mamaku protestan. Dan pernikahan menyatukan mereka dalam katolik. Oppungku bahkan sangat bangga pada mama-ku karena ia bisa mencintai katolik dan mewujud-nyatakannya dengan melakukan pelayanan di gereja katolik. Aku sulung dari 3 bersaudara. Kami lahir dalam keluarga katolik. Keluargaku bukan pendoa yang sangat patuh, kuakui. Namun sejak kecil orangtuaku mendidik kami dengan sungguh dalam kekatolikan. Aku dan adikku misalnya, selalu punya rasa bangga tersendiri saat bisa menjadi putra-putri altar, pemazmur atau lektor. Nah, diusiaku yang sudah memasuki angka 20-an ini, perlahan namun pasti aku semakin mencintai ke-katolik-an ku. Semalam, 08 November 2015, aku mengikuti ibadah di gereja Katolik St.Yohanes Penginjil Paroki Blok B, Jakarta Selatan. Hari ini para uskup seindonesia berkumpul dan melakukan jamuan misa di gereja itu. Aku datang terlambat, hanya karena kendaraan umum dari kosanku ke gereja lama datang. Saat aku datang, sudah bacaan pertama. Akhirnya a

Kerinduan di Akhir Senja [3]

"Apa sih yang ada di pikiran Intan? Mau nangis-nangis terus? Mau sampai kapan sih?", Arif berkata sendiri didalam kamarnya. Tok..tok..tok.. "Kak, kakak ngomong sama siapa sih? Makan yuuk..", suara Bimo, adik Arif terdengar dari balik pintu. "Lagi ngomong sendiri, latihan akting, siapa tau bisa jadi artis", kata Arif ketika membuka pintu dan pergi meninggalkan Bimo. Bimo hanya mengerinyit tak mengerti. "Ma, abis makan aku ke tempat Intan ya", kata Arif disela-sela makan malam. "Ikut ikut", kata Bimo menanggapi. "Enggak !", Arif melotot yang dibalas Bimo dengan leletan lidah. "Mau ngapain?", Papanya malah menjawab. "Pacaran", ujar Bimo kesal. Arif melotot lagi ke arahnya, "Pengen cerita-cerita aja, Pa. Uda lama gak  quality time sama anak itu." Papanya mengangguk, mamanya juga menyatakan setuju. Keluarga Arif dan keluarga Intan memang sudah lama bertetangga. Mereka memang sudah berteman da