Kenangan dalam Rumah yang Dirobohkan

Hari ini 18 Februari 2019, rumah kami dirobohkan.
Kami sekeluarga sepakat untuk membangun kembali rumah itu.
Rumah itu sudah berusia delapan belas tahun.
Mama mengirim gambar dan video rumah itu dirobohkan, pilu sekali rasanya.
Rumah yang kutinggali dengan sejuta kenangan bersama bapak, mama dan adik-adikku.
Waktu melihat beberapa gambar rumah yang dikirimkan Mama, rasanya separuh kenangan dalam hidupku menguar ke udara menghasilkan kelenjar air mata yang berlebihan.
Kenangan-kenangan itu, ah, cepat sekali waktu berlalu !

Rumah kami bukan rumah yang besar. Satu buah ruang tamu dengan dua kamar tidur.
Kemudian dapur dan satu kamar belakang yang dijadikan gudang dan dua kamar mandi. Sudah, itu saja.
Aku ingat waktu pertama kali pindah ke rumah itu, ada rasa sedih meninggalkan tempat yang lama, senang karena rumahnya lebih bagus dari kontrakan sebelumnya, terkejut karena banyak anak seumuranku yang bisa dijadikan teman. Aku berusia tujuh tahun waktu itu, kelas dua SD.

Saat dirobohkan kondisinya memang sudah sangat tidak baik. Gerbang sudah bekarat, beberapa dinding retak, beberapa bagian dari langit-langit rumah sudah membusuk dan mulai ambruk. Bahkan jika hujan datang Mama bilang bagian dapur akan tergenang air. Maklum, selama delapan belas tahun kami tidak pernah mengecat ulang rumah itu, kata Mama uangnya lebih baik untuk keperluan sekolah kami saja.

Dulu kami hanya punya kursi dan meja plastik yang diletakkan di ruang tamu. Ada TV tabung, masih di bagian ruang tamu, dekat pintu menuju dapur. Dulu juga kursi dan meja makan kami dari plastik. Seiring berjalannya waktu, rasanya ada tiga atau empat kali kami mengganti jenis kursi di ruang tamu, tidak plastik lagi. TV tabung juga diganti dengan TV LED. Semua berkat kerja keras bapak dan mama.

Ada satu white board di dapur. Dulu Mama membuka private class setiap sore untuk anak kecil. Mama mengajari bahasa Inggris. Jadi kursi dan meja makan kami berubah menjadi kursi dan meja tempat anak-anak itu belajar. Kadang Mama mengajari mereka sambil menggoreng ikan, lauk kami untuk makan malam. Aku tidak pernah ikut belajar bersama anak-anak itu.

Soal belajar, dulu Bapak adalah orang paling keras yang mengajari kami matematika. Aku masih ingat, waktu aku kelas tiga atau empat SD dulu, setelah mengerjakan PR, aku akan ditanya tentang perkalian. Bapak akan duduk di kursi ruang tamu dan aku akan berdiri depannya, "Berapa tiga kali empat?"
"Dua belas", jawabku.
"Delapan dikali enam?"
""Empat puluh enam", kataku.
"Haah? Berapa?", nada Bapak meninggi.
Aku ragu, "Eh, empat puluh delapan?", kataku.
"Haah? Hitung dulu bagus-bagus", lanjutnya lagi.

Begitulah Bapak. Ada saat dimana dia marah ketika beberapa kali aku salah menjawab pertanyaannya. Oh ya, dia pernah memukuliku dengan gesepernya karena aku tidak juga menjawab dengan benar. Aku mulai menangis. Semakin kencang tangisanku, semakin dia memukulku. Mama dan adikku hanya melihatku iba, tidak membantu sedikit pun. Setelah aku berhasil menjawab dan tangisku mulai mereda, Bapak akan menyuruhku ke kamar mandi untuk cuci muka, dengan kata-kata penutup, "Besok harus udah hapal perkalian satu sampai sepuluh ya. Jangan jadi berubah jawabanmu kalau diragukan orang. Kalau benar, ya katakan yang benar. Gak perlu eh,eh,eh segala."
"Iya pak", kataku di sela-sela sesenggukanku.
Ternyata Bapak menerapkan hal yang sama pada adikku. Dipukul dengan gesper kalau salah menjawab perkalian. Dan aku juga melakukan hal yang sama. Hanya melihatnya tanpa iba, "Nanti kau akan tau itu sangat berguna", aku berujar saja begitu dalam hati.

Dulu, kami semua suka sekali duduk bersama-sama sore hari di teras rumah. Biasanya ditemani kopi atau teh manis bersama singkong rebus atau gorengan. Bercerita tentang bagaimana hari kami di sekolah, bagaimana teman-teman kami, permainan apa yang sedang sering kami mainkan bersama anak-anak lain. Atau Bapak akan bercerita tentang masa kecilnya dulu dan ada nasehatnya yang selalu dia ulang-ulang, "Kalian harus bersyukur, zaman sekarang kalian ga perlu bajak sawah atau ke ladang setelah pulang dari sekolah. Kalian pulang sekolah langsung makan, tidur siang. Dulu Bapak mana bisa gitu. Pulang sekolah harus ke ladang bantu oppung, pulang dari ladang beresin rumah atau bantuin masak, malam harus belajar ngerjain PR. Dulu listrik belum ada, harus pake lampu teplok. Besok pagi lubang hidung sudah hitam karena asap lampunya. Sekarang sudah ada listrik, kalau kalian tidak bisa dapat nilai bagus di sekolah, wah, malulah sama anak-anak yang masih tinggal di kampung, bajak sawah tapi tetap bisa juara di sekolah".

Lagi, masih cerita tentang Bapak, ada satu kejadian yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Saat itu aku sekitar kelas enam SD. Hari itu hujan deras sedang melanda. Aku dan adik-adikku hanya diam di kamar. Bapak dan mama belum pulang dari tempat kerja. Teman-teman kami ternyata sedang mandi hujan. Mereka mengajak kami dan kami pun mau, berencana akan segera mandi sore sebelum bapak dan mama pulang, jadi tidak akan ketahuan. Karena asiknya bermain hujan, kami pun menggunakan teras rumah sebagai tempat bermain. Kami menyadari keadaan teras sungguh parah. Kotor dimana-mana. Campuran antara hujan dan tanah dari kaki kami bersatu. Bayangkan saja jumlah kami ada sekitar sepuluh orang dan semuanya telanjang kaki.
Aku dan adikku sepakat untuk segera membersihkan teras sebelum Bapak dan mama pulang. Ternyata tanpa diduga, Bapak dan mama pulang saat kami masih bermain hujan. Kami ketahuan dan ketakutan. Setelah melepas jas hujan, mama langsung menuju dapur meletakkan barang belanjaan dan bapak memanggil kami.
"Apa-apaan ini?", teriak bapak, "Kok bisa sampai sekotor ini semuanya?"
Kami diam dan menunduk.
"Sekarang pel dan bersihkan, setelah itu mandi, baru kita lanjut bicara", Bapak meninggalkan kami.
Kami tidak tau apa yang akan terjadi. Kami hanya membersihkan teras, mandi bersama adikku dalam diam. Setelah itu ternyata Bapak memukul kami, tidak dengan gesper tapi dengan sapu lidi. Entah bagaimana saat itu aku tidak menangis, mungkin karena aku salah dan aku memang harus menanggung akibatnya.
Entah berapa kali bapak memukul kami. Adikku mulai menangis dan memohon ampun. Diakhiri dengan kata-kata, "jangan ulangi lagi" dari bapak, kami berjalan ke kamar mandi mencuci muka. Aku menemani adikku karena aku memang tidak menangis. Kami membasahi kaki, merutuki kenapa menggunakan celana pendek saat bicara dengan Bapak. Setelah mengeringkan dengan handuk, aku menyadari bahwa kaki kami sudah berdarah dan penuh baret, karena pukulan bapak.
Kami mengadu pada mama dan mama hanya memberikan minyak karo pada kaki kami. Bapak entah sudah dimana saat mama mengobati luka kami.

Bapak adalah sosok yang kadang over protective. Dia tidak akan membiarkan kami pulang ke rumah diatas jam enam sore. Jika sudah jam enam sore dan kami belum di rumah, bapak pasti akan menelepon dan menanyai :
- sedang apa dan dimana
- jam berapa pulang
- siapa yang mengantarkan pulang
Maklum saja, dulu belum ada transportasi online dan bus umum ke arah rumahku hanya sampai jam lima sore. Pernah beberapa kali aku pulang malam, bapak menungguiku di teras rumah. Siapa pun yang mengantarku pulang harus berhadapan dengan bapak dan siap untuk diinterogasi. Awalnya mereka semua pasti takut, tapi bapak akan bertingkah menakutkan diawal dan bertingkah menyenangkan diakhir. Tidak heran, setelahnya banyak teman perempuan dan laki-laki yang tidak sungkan main ke rumah.
Bapak pun akan merasa aman jika kubilang aku bersama teman-teman yang sudah bapak kenal itu. Tapi tetap saja Bapak selalu menungguiku di teras jika aku pulang terlambat.
Eh, ada kejadian lucu juga. Saat SMA, ada satu orang laki-laki yang dekat denganku (ehm, pacar... yang sudah menjadi mantan), memberanikan diri datang Sabtu malam, menjemputku dan mengajak jalan keluar. Tau apa jawaban bapakku?
"Sudah, kalian mengobrol saja di teras ini. Kan kalau kalian di luar rumah ga bisa di kontrol, kalau di sini kan bisa kami liat-liat"
What ?!
Dan ya, kami akhirnya memang malam mingguan,
di rumah.

Tentang mama, dia seperti ibu kebanyakan. Bangun paling pagi dan yang paling sering marah-marah di rumah. Selalu bilang tidak punya uang saat kita minta uang jajan lebih tapi selalu ada uang untuk membeli keperluan sekolah. Yang kadang bilang "entah anak siapa pun kau" tapi tidak pernah menolak jika diajak makan mi ayam. Yang selalu bangga datang ke sekolah ketika anaknya mendapat penghargaan (karena jika anaknya bermasalah, yang datang adalah bapak).

Setelah memasuki SMP, kami mulai membagi tugas antara menyapu rumah, mengepel, menyiram tanaman, mencuci piring. Jadi jika mama berteriak pada adikku, "Fi, cuci dulu piring ini", padahal adikku sudah menyapu rumah, adikku dengan tidak merasa bersalah berteriak menjawab, "Kak wiwid la ma. Aku tadi uda sapu rumah, dia belum ngapa-ngapain".
Atau jika kami menunda-nunda pekerjaan, misalnya mencuci piring, mama akan berteriak, "Besok pake daunlah kita makan biar gausah lagi repot cuci piring".
Hahaha...

Oh ya, rasanya sampai kapan pun adalah tugas wajib mama membangunkan kami semua setiap pagi.
"Uda jam tujuh. Mau jam berapa kalian pergi sekolah?", teriakan mama yang artinya adalah masih jam enam pagi. Dan jawaban default kami adalah, "Lima menit lagi ma".
Atau, "Jangan ada yang pergi sekolah kalau belum disapu dan dipel rumah itu ya".
Lalu kami terpaksa bergegas bangun.

Pernah suatu hari, saat kami sudah meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah mama tiba-tiba berteriak, "Sini dulu kalian. Mau siapa yang beresin tempat tidur kalian ini? Sanggup kalian tinggalkan tempat tidur berantakan kek gini?"
Argh.. Mama !
Mama mulai mengajari kami memasak sejak kecil. Dimulai dengan memasak nasi atau air panas, memotong sayur, bawang dan teman-temannya, membersihkan ikan dari perutnya dan menambahkan garam dan jeruk nipis agar tak amis, sampai menumis sayur, menggoreng dan menyambal ikan, mengarsik ikan mas, masak rendang daging, bubur kacang hijau dan nasi pulut super nikmat. Ah, mama hebat !
Kalau bapak bilang, anak perempuan itu harus bisa masak, kalau tidak, nanti dipulangkan mertuanya kalau sudah menikah. Bapak menyampaikan itu saat aku masih SMP dan tidak akan pernah kulupakan.

Makan malam bersama adalah ritual yang wajib kami lakukan, hampir tiap malam. Setelah itu akan dilanjutkan dengan nasehat-nasehat malam dari Bapak. Mama biasanya hanya menambahkan sedikit, Setelah itu kami akan membagi tugas antara mencuci piring, memberekan meja dan menyapu sisa-sisa makanan.

Setelah makan malam Bapak akan menanyai apakah PR kami sudah selesai atau belum. Jika belum, dia tidak akan mau menghidupkan TV, atau jika bapak dan mama mau menonton, kami akan disuruh mengerjakan PR di meja makan, bukan di kamar, karena jadinya tidur kalau kata Bapak.

Ulang tahun adalah momen paling spesial karena kami akan makan malam bersama di luar rumah. Biasanya kami akan pergi ke restoran dan memesan makanan lezat yang tidak biasa kami makan. Dan tetap, diakhiri dengan nasehat-nasehat bapak dan mama.

Lumayan juga cerita ini. Ya, begitulah. Bapak dan mama masih sehat sampai sekarang. Usia mereka sudah lebih dari setengah abad. Setelah di perantauan ini, yang namanya rindu barulah terasa. Rindu kumpul sama mereka, melihat mereka pergi dan pulang kerja, makan bersama ditemani nasehat-nasehat mereka.
Terima kasih untuk teknologi yang membuat kami terasa dekat.

Eh tadi ngomongin soal rumah yang dirobohkan kan ya?
Ya semua cerita diatas terjadi di dalam rumah yang baru saja dirobohkan itu.
Nanti kalau rumah barunya uda jadi, semoga bisa mengukir jenis kenangan yang lain lagi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan