Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

RINDU

Akhir-akhir ini aku benci dengan RINDU Ia merajai hatiku tanpa bisa kutahan mondar-mandir layaknya keluarga pasien gawat darurat diruang tunggu Aku bosan ia selalu ada RINDU Menjebakku pada nostalgia yang, lagi hanya bisa menyakitiku Maunya apa sih? Kenapa tidak bertamu saja ke hati tetangga lalu tak usah kembali Kenapa RINDU bukan pengobat Ia seperti jeruk asam yang menetes diluka yang masih basah Argh ! Mau berganti tempat denganku? Mungkin luka kita berbeda Siapa tau kau lebih kuat dari aku Siapa tau aku bisa menyembuhkan lukamu jika aku menjadi dirimu Atau ... Bagaimana caraku berdamai dengan RINDU? Kau tau kan RINDU yang kumaksud?

Aku (masih) Kalah

Hahaha... Rasanya ingin terus menertawakan diri sendiri Luka ini terlalu perih untuk ditangisi Mungkin tawa tanpa renyah didalamnya bisa menghilangkan sakitnya sedikit Rasanya seperti bagian daging dari tanganmu dicabut dan hanya menyisakan tulang putih, kelihatan. Bagaimana? Ya... Ia tidak akan bisa pulih tanpa ditempeli daging lain, bukan? Mungkin ia akan membusuk jika dibiarkan terus menerus Perumpamaannya begitu ! Ini kali kesekian Aku merasa sudah cukup Namun lagi lagi tarikan nafas membuatku gagal Ini benar-benar belum cukup! Apa asiknya menyakiti diri sendiri Apa asiknya mengatakan AKU BISA Padahal ... Hanya saja ini bagianku, bukan? Bagian tulang putih yang tidak akan ditempeli daging lagi Haah ... Pertarungan dengan hati sendiri menjadi pertarungan yang tidak adil Karena menang atau kalah, aku yang menikmatinya Dan aku, (masih) KALAH

Rindu itu hilang

Aku sedang mencari rindu itu Kemana dia? Tidak kutemukan Aku sedang memaksa diriku untuk menemukannya Sedikit sulit Ia berada di salah satu sudut yang paling sudut Ada usaha lebih untuk menemukannya Haah ... Rindu sekali untuk merindu Karena rasanya salah sekali Salah dan lelah Salah dan tidak akan berpaut Ya, kau tau ... Seperti sekuat apapun menginginkannya, tetap saja kau akan gagal Tidak akan ada waktu untuk rindu itu terpaut Hanya sebelah hati saja Tidak lagi disambut dengan manis Ya sudah, tetaplah disudut yang tersudut Aku sebenarnya tidak ingin lagi mengiris hatiku sendiri Hanya saja kau terlalu membekas Kadang kadang mengingatmu masih menyakitiku

Cerita seorang pria

Ia melihat sebuah raga sudah terbujur kaku. Diatas sebuah dipan yang sebelumnya terletak di kamar belakang. Raga itu tidak bergerak lagi, tidak tersenyum lagi, dan ... tidak merasakan sakit lagi. Ia menatap nanar, hampir tak mampu bergerak jika saja abangnya tidak menepuk pundaknya. Ia melangkah, bukan menuju raga itu tapi ke kamarnya. Meletakkan tas, mengganti baju yang ia kenakan menjadi kemeja hitam. Ia menatap cermin, ia sendiri tidak mampu mendeskripsikan rupa-nya sekarang. Entah menggambarkan apa. Ayahnya sudah tiada. Teman-teman dan sanak saudara mulai memenuhi rumah. Ia berjalan dan duduk disamping ibunya. Ibunya sudah menggunakan baju dengan warna senada dengannya. Dikepalanya diikatkan semacam kain hitam. Wajahnya penuh kedukaan, tanpa harapan. Ia hanya memeluk ibunya, tanpa airmata. Bahkan ketika teman-temannya datang, mengucapkan rasa belasungkawa, mulai menyalamnya, ibunya, kakaknya, dan abangnya, ia tidak juga menangis. Tiga bulan kemudian... Ia masih saja me