Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Akhir Februari

Ternyata tidak ada pizza di 31 Januari yang lalu Ah, bahkan ini sudah penghujung Februari dan aku baru sadar Baru kali ini aku tak mampu menebak Dan tidak tertebak Semua mengalir lebih baik dari yang sempat terbersit di benakku Sayangnya aku benar-benar munafik dan tidak bisa menguranginya Tampang tertawa dengan cerita yang lucu, kadang bijaksana Padahal hati entah berkata apa Sayangnya semua yang timbul di hati tidak bisa dipampangkan lewat wajah, aneh... Sudah malam, terimakasih sudah mengakhiri Februari ini dengan baik Paling tidak aku tetap punya satu poin dibalik seribu poin yang sudah kau kumpul Sampai bertemu, lagi

Satu terima kasih untuk seseorang yang tak kukenal

Sore itu aku masuk ke sebuah gereja, mencari tempat duduk dengan pencahayaan paling rendah. Baru saja aku berlutut dan melihat ke arah altar, air mataku jatuh. Ya, itu adalah saat terendah lain yang sedang kualami. Ntah apa yang kutangisi saat itu, hanya saja rasanya sedih sekali. Sebenarnya aku tau apa yang terjadi, hanya saja aku terlalu naive jika mengungkitnya lagi. Aku benar benar ingin menghentikan air mata itu tapi tak bisa. Ia begitu saja mengalir tanpa jeda, sampai aku sesenggukan. Lalu aku mengucapkan amin dan kembali duduk. Mencoba mengontrol diriku agar tak sesenggukan. Setelah aku berhasil, aku baru menyadari seorang bapak duduk di sampingku. Ia menggunakan kemeja putih dan celana hitam. Ia menyodorkan sebuah lilin putih padaku, aku bingung. Ia bilang, berdoalah kesana, sambil menunjuk patung bunda maria di dekat pintu masuk gereja Aku menoleh ke patung bunda lalu menerima lilin itu. "Boleh tau namamu?" "Gita", kataku "Gita, apa pun

Kita bukankah seharusnya seperti itu?

Kita bukankah seharusnya seperti itu? Menapaki tanah basah dan menepi sebentar karena hujan Menyesap bajigur yang entah kenapa menarik disajikan dalam gelas kayu Memintamu menghabiskan makananku yang seperti biasa tersisa hanya karena aku ingin kurus (dan masih gagal) Kita bukankah seharusnya seperti itu? Menikmati surabi durian yang kutebak lezat sekali Melahapnya dalam diam tanpa sapa dan cerita Ternyata memang lezat, bukan karena rasanya, tapi karena aku bersamamu saat itu Kita bukankah seharusnya seperti itu? Melangkahkan kaki dan berbohong bahwa kita tidak lelah hanya karena list destinasi yang kita rancang belum mendapat centang Dan kau marah ketika hitungan uang yang kupegang tidak tepat Kita bukankah seharusnya seperti itu? Merancang hendak kemana dan mewujud-nyatakannya bersama Bertengkar hanya karena aku tidak setuju dengan keroyalanmu Kau diamkan aku dengan sejuta pikiran yang tak bisa ku mengerti Aku mengalah dan entah kau bagaimana Aku berusaha membe

Satu katamu, aku senang

Hei, Kau pintar sekali Sebegitu terlambatkah mengenal dirimu yang seperti ini? Sepertinya ada racikan tambahan di satu satu kata yang kau kirim Jangan larang jika aku senang ! Tenang, bukan salahmu jika aku ingin lagi Toh, aku tau bagaimana meredam ini Tak akan berkelanjutan, jika memang kau tak ingin Jangan lama-lama hilang

Hai, sore

Hai, sore Lama tak melihatmu Hari ini kau jingga dan ada pelangi di ujung semburatmu penanda malam Aku sedang berdiri bersama orang-orang Mengetik tulisan ini sambil tersenyum, rasanya lama sekali aku tak melihat jinggamu seberani ini Terima kasih, Soremu menenangkan, walaupun jalanan basah, padat dan pengap Aku ingin bercerita, sedikit Mau dengar? Anggap saja menemani kepergianmu dalam peristirahatan hingga esok pagi Aku sudah pintar sekarang Sudah bisa mengontrol ini, hatiku Kau ingat kapan terakhir aku bercerita tentang ini padamu? Sepertinya sudah lebih dari dua tahun lalu Kau tidak suka mendengarnya Karena tidak ada burung-burung putih menyambut ceritaku Iya, dulu aku tidak sekuat sekarang Percayakah kini aku sangat siap? Bahkan siap untuk hal terburuk sekali pun Sepertinya pelajaran yang kudapat sudah cukup Nah, itu saja Dah, sampai bertemu besok

Hal yang paling ingin dilakukan adalah,

Berada di salah satu titik terendah memang membuat semua pikiran bercampur menjadi satu. Seakan hal kecil juga ingin diperhatikan. Saat seperti itu, yang terlintas adalah seseorang yang pernah/akan/diharapkan ada. Dan ya, benar, emosi yang tidak terluap dengan kata, berakhir menjadi air mata . Meraung di dalam kamar mandi adalah pilihan, agar tak didengar oleh orang lain adalah alasannya. Sayangnya ada di tahap kosong manjadi lebih berat dari titik terendah lain yang sudah pernah dirasakan sebelumnya. Karena yang terlintas adalah dia yang dulu pernah ada lalu sekarang menghilang entah kemana. Terbersit memikirkan dia yang mungkin akan ada , tapi harapan masih jauh dari itu. Tidak ada yang menjadi tempat berpulang untuk mencurahkan semuanya. Hal menyakitkan lain adalah, fisik. Pernahkah mencoba meraung dalam diam di kamar mandi membuat semua emosi menyatu di kepala sampai sakit dan berbunyi ngiiingg  ? Begitulah... Kenapa tak berbagi dengan teman?