Fase Asmara, katamu? Ah, tidak

Melewati fase asmara adalah hal yang menyenangkan. Diselingi dengan sakit hati, lalu menemukan tambatan hati kembali menjadi hal lumrah. Paling tidak, sampai pertengahan usia dua puluhan...

Mengambil langkah besar untuk sebuah fase kehidupan selanjutnya yang disebut pernikahan adalah hal yang berani,
dan hebat.
Tidak semua orang siap untuk hal itu di pertengahan usia dua puluhan,
atau lebih.

Aku sudah melewati fase asmara dan
bosan.
Aku sedang tiba pada fase mati rasa. Bukan berarti aku tidak membuka hati untuk sebuah hubungan dengan lawan jenis. Hanya saja, kali ini belum ada yang mampu menembus batasan perasaan manusiawiku yang hendak diubah jadi cinta. Belum ada.

Beberapa yang sempat singgah, kubiarkan coba masuk untuk kemudian kuusir. Kesannya memang kasar. Tapi bukankah lebih baik begitu daripada kutahan lebih lama untuk kemudian menjadi sakit untuk dia. Mencoba, tidak cocok, kuusir.

Lalu di satu waktu, aku berhenti pada satu hati. Yang mengusahakan aku dan kusambut dengan baik. Kutahan agar tidak segera pergi.
Kami ingin mengulang asmara.
Lalu ...
Aku dan dia tiba disaat dimana kami mengerti bahwa kami sedang di fase yang sama, MATI RASA.

Dia bilang punya kemungkinan untukku tapi, entah kapan.
Dia tidak bisa memberikan aku kejelasan. Sementara naluriku sudah memberontak ingin mendapatkan penjelasan.
Kali ini aku mengalah.

Aku tidak tau sampai kapan aku mengalami fase mati rasa ini.
Aku tidak tau apakah aku dan dia akan berjalan dengan baik.
Yang aku tau definisi dari menunggu adalah rela merasakan sakit dan lega untuk penantian yang bersambut.
Hanya saja, itu tetap tidak pasti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan