Kemarin, Hari Ini dan Selamanya

Aku meninggalkan negara ini. Bermodalkan paspor dan keinginan memulai semuanya dari awal. Aku membiarkan ragaku dibawa kapal terombang-ambing di lautan lepas. Entah sudah berapa lama. Kemudian aku tau bahwa aku melewati Terusan Suez, berbelok sampai ke Benua Eropa.
Orang-orang disini tidak seramah yang dipikirkan. Aku harus punya sesuatu yang membuatku bisa bertahan. Mengerjakan semua jenis pekerjaan demi bisa menyewa flat kecil berisi kasur lipat tidak empuk tempat meletakkan lelah melewati hari.

Toh, aku bisa bertahan. Lima tahun pertama aku mendengar kau menikah. Aku patah untuk yang kesekian kalinya. Aku tersenyum bahagia sebenarnya. Kemudian aku melewati beberapa minggu merutuki tuhan yang menuliskan takdir yang salah dalam hidupku. Sekarang apa lagi yang membuatku bertahan jika satu-satunya pertahananku sudah menyerahkan hatinya terpenjara oleh orang yang tidak pernah kutau sama sekali?

Sepuluh tahun, orang tuaku menyusulku kesini. Tidak kubiarkan mereka tinggal di flat tuaku. Aku menyewa rumah penginapan, membiarkan tabunganku terkuras lebih banyak dari biasanya. Melihat mereka bahagia memberi ruang lega dalam hatiku. Aku bukan anak durhaka ternyata. Beberapa foto diri mereka kuambil untuk kemudian diunggah ke media sosial. Masa kini memang berbeda. Siapa yang tidak berdecak kagum ketika kau berasal dari keluarga yang biasa saja, dari benua Asia kemudian mengunggah gambar sedang berada di benua Eropa?
Mereka bangga !
Yasudah, tidak mengubah takdir hidupku.

Mereka membawa serta ijazah dan keterangan lulusku. Untuk apa? pikirku. Toh aku sudah tidak punya skill lagi di bidangku setelah sepuluh tahun berjalan dan mengetuk satu demi satu pintu untuk diberikan pekerjaan. Kini aku lebih senang menenangkan diri di dalam sebuah bar kecil di sudut kota yang menampilkan musik klasik bersama minuman alkohol murahan.

Dua puluh tahun, seorang lawan jenis mengajakku menikah. Tidak, kataku. Aku tidak mau membiarkan sisa hidupku dipenjara hati yang tak kuingini. Aku tidak hanya mengkhianati diriku, aku juga menyakitinya.

Tiga puluh tahun, aku berharap kau panjang umur. Tapi kudengar kau mati tanpa menunggu aku kembali. Ya untuk apa juga, toh kau punya keluarga yang akhirnya menaruh bunga di atas pusaramu. Aku tidak lagi punya andil.
Setelah ini? Hatiku tidak lagi patah, tapi sudah hilang bersama ragamu yang sudah mati tertanam di dalam tanah.
Aku mencintaimu.
Kemarin, hari ini dan selamanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan