Sisi Lain dari Sebuah Kehidupan yang Biasa

Kemarin pacarku singgah ke sebuah kafe. Dia menemui seorang perempuan. Dia sedang di kota lain pada saat itu. Dia menceritakan padaku bahwa dia akan bertemu seorang perempuan lewat pesan singkat. Teman, katanya.
Dia baru meneleponku lewat tengah malam setelah dia pulang ke rumah. Dia hendak menceritakan tentang perempuan itu.
"Besok saja", kataku, "otakku tidak bisa diajak berpikir keras malam ini. Istirahatlah."

Akhirnya pacarku kembali ke kotaku. Kami bertemu dan bercerita. Perempuan itu adalah salah satu topik pembicaraan kami.
"Dia adik tingkatku dulu di kampus. Dia sedang sakit", jelasnya memulai pembicaraan tentang perempuan itu.
"Sakit apa?", tanyaku.
"Depresi. Sekarang masih rutin ke rumah sakit jiwa."
"Dia konsumsi obat?", pasien psikiater ternyata.
"Iya, sekarang sudah masa pemulihan. Masih butuh konsumsi obat. Tapi tidak sebanyak dulu. Dulu dia harus konsumsi enam sampai tujuh jenis obat. Sekarang sudah tinggal tiga jenis obat."
"Kenapa? Sejak kapan?", aku penasaran.
"Sejak tahun kedua kuliah. Sekarang dia sudah tingkat akhir. Depresi karena masalah keluarga. Keluarganya di ibukota dan dia di perantauan sedang berusaha menyelesaikan kuliahnya dan dipenuhi dengan masalah keluarganya."

Aku tidak memperjelas masalah keluarga seperti apa yang dialami perempuan itu. "Siapa yang menemaninya ke rumah sakit? Keluarganya tau?", aku masih penasaran.
"Temannya. Oh, tidak bisa dibilang hanya sekadar teman, tapi bukan pacar juga. Kau mengerti maksudku kan?", kutanggapi dengan anggukan.
"Keluarganya tidak tau", lanjut pacarku.
"Tapi biaya obat dari psikiater kan mahal? Gimana dia menebus semua obatnya?"
"Makanya dia bekerja. Harusnya tahun ini dia sudah tamat, tapi karena depresinya ini dan dia bekerja makanya sedikit terlambat. Aku sempat menjadi Teaching Assistant di salah satu mata kuliahnya, makanya aku tau masalahnya", oh pertanyaan kenapa dia menjadi teman bicara pacarku terjawab sudah.
"Makanya mumpung aku lewat kotanya, aku menemuinya, memberi semangat. Dia sedang skripsi sekarang. Aku bilang jangan sampai menyerah", kutanggapi dengan senyuman.
Kami diam untuk beberapa saat.

"Dia hebat ya", kataku.
Dijawab dengan pandangan kenapa dari pacarku.
"Iya, dia sakit dan mau ke dokter"
"Awalnya dia tidak mau. Tapi teman-temannya banyak yang mendukungnya untuk sembuh."
Aku mengerti.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman bercerita tentang dirinya padaku. Bagaimana dia merasa depresi sampai pernah berpikir mengakhiri hidupnya. Aku tidak terkejut. Penjelasan darinya membuat aku paham mengapa dia ingin mengakhiri hidupnya. Dan itu wajar. Bahkan katanya Tuhan tidak bertindak apa pun pada masalahnya.
Selama dia bercerita aku diam, mendengarkan. Beberapa kali merasa gemas dan ingin memotong ceritanya, tapi kutahan. Ternyata penerimaan dari dunia sekitar akan hadirnya kita di dunia sangat penting.
Aku menyarankan dia untuk konsultasi ke psikolog. Jelas dia menolak ! Sangat menolak.
"Aku tidak bisa percaya pada siapa pun di dunia ini", katanya.
Aku bisa merasakannya. Dia butuh persiapan dua jam sejak dia memutuskan bercerita sampai akhirnya dia benar-benar menceritakan masalahnya padaku. Tangan dan bibirnya bergetar saat bercerita.
Oh, dia memilih menceritakan semuanya padaku dengan harapan aku bisa mengerti posisinya.
Ada ajakan untuk ke psikolog lagi dariku. Tidak, katanya. Aku sampai bersikeras bahwa psikolog tidak melibatkan Tuhan dalam memeriksa kondisi kejiwaan seseorang.
Dia diam.

Beberapa hari yang lalu tanpa sengaja aku juga melihat berita seorang mahasiswa mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di kamar kosnya. Padahal malam sebelumnya dia masih makan malam bersama dengan teman-temannya. Tidak seorang pun menyadari dia sedang mengalami depresi. Berita itu bilang dia bermasalah dengan skripsi yang sedang dikerjakannya. Kejadian ini bukan kejadian pertama. Kejadian ini sudah terjadi pada ratusan anak muda di negeri ini.

Rasanya menjadi seorang teman yang lebih banyak mendengar sangat dibutuhkan oleh orang lain di saat yang tak pernah kita duga sebelumnya.
Kita pun kadang butuh teman yang lebih banyak mendengar. Tak perlu menanggapi apa pun cerita kita. Karena kadang seseorang hanya butuh telinga untuk mendengar dan peduli.

Berusaha menjadi seorang yang bukan pengkhianat adalah salah satu tanggung jawab yang besar. Ketika kepercayaan ada di pihak kita pada suatu waktu dan di waktu yang lain perkelahian merusak pertemanan kita, hendaknya kepercayaan yang sudah diberikan tidak dirusak juga. Biarlah beberapa cerita orang lain menjadi milik kita semata.

Hm...
Berusaha menjadi teman yang baik, peduli dan mengerti adalah salah satu bentuk pendewasaan yang tidak tertulis di buku mana pun. Hanya bisa dipraktekkan dan menjadi bagian dari perjalanan kisah di dunia.

Oh, dan tentang psikolog, rasanya tidak apa jika memang butuh bantuan dari mereka. Kadang kita berpikir hanya kita yang mengerti diri kita. Mungkin benar. Tapi percayalah mereka lebih mengerti tentang kejiwaan. Mungkin mereka lebih memahami harus melakukan apa untuk sesuatu yang terjadi pada diri kita.
Jika kau sedang membaca tulisan ini dan berpikir ingin tau sedikit banyak tentang mereka, boleh hubungi aku. Nanti kukenalkan :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan