Si Penguasa Jalanan Jakarta [1]

Asap kendaraan bukan lagi menjadi hal yang mengusikmu, tapi menjadi candu. Ditemani terik matahari yang kadang tiba-tiba saja menjadi awan hitam, hujan deras dan halilintar. Lagi, tidak apa. Mereka sudah menjadi candu.
Dengan sepeda onthel tua, sudah berkarat, tapi masih kuat, kau kayuh saja, menelusuri jalan raya ditemani mobil mewah dari si orang kaya. Rantai yang berulang kali kau lapisi oli hitam berhasil membantumu mengalahkan jalanan yang sebenarnya tidak menerima pijakanmu lagi.
Dua kantung kain besar di sebelah kanan dan kiri bagian belakang onthelmu juga sudah lusuh, coklat karena debu. Ada penutup kantung berwarna senada yang awalnya memiliki kancing tapi kini hanya teronggok lemah menutup barang di dalam kantung itu.
Kau?
Mulai tua dan keriput, tidak ada lagi otot yang dahulu membuatmu gagah. Warna kulitmu yang coklat kini menjadi hitam legam. Dengan topi bundar dan kemeja batik kebanggaanmu, kau masih menantang Jakarta.

Seperti hari-hari sebelumnya ...
Sudah jam 4 pagi, setelah melakukan sholat, kau mengeluarkan sepedamu. Menerima salam dari istrimu dan menengok sedikit ke kamar anakmu. Kadang kau ingin masuk dan mengecup mereka, tapi enggan kau lakukan karena takut membangunkan mereka. Melihat mereka, tersenyum, dan mengucapkan sebaris doa, lancarkan rejekiku hari ini ya Allah, demi mereka, yang sudah kau titipkan padaku.
Kau kayuh sepedamu menuju tempat si juragan sayur. Dingin. Tapi kau tetap semangat, dua kantung di bagian belakang sepedamu masih kosong, perlu diisi untuk tetap bisa membeli beras untuk anak dan istrimu. Tiga puluh menit, bukan waktu yang lama bagimu yang sudah puluhan tahun menekuni pekerjaan ini. Di depan gudang si juragan sayur, sudah terlihat keramaian orang-orang yang memiliki harapan yang sama denganmu, mengumpulkan rupiah.
Kau parkirkan sepeda tuamu dibawah pohon besar di sisi kiri gudang sayur itu. Kau keluarkan kantung kecil berwarna putih dari kantung celanamu. Kantung putih itu berisi rupiah yang sudah lusuh. Kau pisahkan beberapa lembar sebagai modalmu pagi ini, lalu kantung putih itu kau simpan lagi.
Beberapa lembar uang itu kini sudah digantikan oleh sayur mayur yang kau angkat sendiri menuju sepedamu. Masih segar, menambah semangatmu untuk secepatnya mengaturnya dikantung sepedamu dan membawanya ke tempat langgananmu. Dua kantung penuh, kau tutup dengan kain penutup yang tak bisa dikancing lagi.
Kau putar balik sepedamu, dan mulai kau kayuh. Berat, tapi tidak apa. Rejeki yang sedang kau bawa. Kembali merajai jalanan di kota Jakarta. Kali ini lebih jauh dari jarak rumahmu ke gudang sayur. Berhenti di beberapa warung yang sudah menjadi langgananmu. Menerima rupiah dengan mengambil untung yang sangat sedikit. "Tidak apa, kita kan sama-sama cari rejeki. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit", begitu jawabmu setiap kali ditanya mengapa mengambil keuntungan yang sangat sedikit.
Menjelang jam delapan pagi, dua kantung di bagian belakang sepeda onthelmu sudah kosong kembali. Sinar wajahmu mewakilkan ucapan Alhamdulilah atas rejeki yang kau terima. Segera kau cari tempat kosong untuk memisahkan modal yang akan kau gunakan besok dan untung yang kau terima hari ini. Wah, dapat lima puluh ribu, alhamdulilah, batinmu lagi.
Segera kau kayuh sepedamu menuju rumah. Kadang kau berhenti di depan sebuah sekolah swasta. Memandang bangunan sekolah yang tinggi menjulang, hati kecilmu berkata, "Kapan anakku bisa sekolah di tempat seperti ini?". Namun kemudian kau menggelangkan kepalamu mencoba mengusir pikiranmu yang terlalu tinggi itu. Lagi, kau kayuh sepedamu menuju rumah dan dalam pikiranmu hanya ada ucapan syukur, bisa makan saja sudah syukur.
Setibanya di rumah, tidak ada lagi anak-anakmu yang kau tinggalkan tadi pagi, hanya istrimu yang menyapu halaman rumah yang tidak begitu luas itu. Ia menyalammu lagi, dan berkata, "Anak-anak sudah berangkat sekolah. Tadi si bungsu minta uang lebih, mau membeli buku tulis baru katanya. Buku tulisnya yang lain sudah rusak karena terkena air hujan. Gurunya tidak mau menerima PR di buku yang rusak".
Kau hanya tersenyum, "Terimakasih ya bu, berkat doamu aku memperoleh untung yang lumayan hari ini. Bisa kau ganti uang yang kau berikan pada si bungsu dengan hasil sayurku hari ini. Sarapan apa bu?"
Ada telur dan tahu goreng pagi ini. Setelah menyendokkan nasi ke piringmu istrimu mengambil teh hangat. Kau berdoa dan mulai melahap. Dicampur dengan kecap manis dalam kemasan plastik seribu-an menambah kelahapanmu makan."Bu, nanti siang masak sayur untuk anak-anak ya. Aku melebihkan satu ikat sayur bayam untuk kita nanti siang", katamu sambil membawa piring kotormu ke kamar mandi. Istrimu mengangguk dan tersenyum.

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan