Jakarta dan Orang-orang Bermasker


Ada satu hal yang terlihat sangat berbeda dan mencolok ketika pertama kali aku tiba di Jakarta.
Banyak sekali orang yang menggunakan masker, baik di transportasi umum maupun di jalanan.
"Mengapa mereka menggunakan masker?", tanyaku pada seorang teman.
"Udara disini kotor", jawabnya singkat.
"Ooouuu ...", aku menggumam.
Pikiranku tidak sampai pada udara kotor dikota ini. Karena sebelumnya aku selalu hidup ditempat yang benar-benar bersih dan segar, minim polusi.

Seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa melihat hal itu. Tapi tidak terbiasa menggunakan masker. Sesak rasanya.
Sesekali memang kupakai, misalnya saat aku menggunakan jasa ojek online yang memberikan aku masker gratis.

Kemudian, ada hal yang mengganjal pikiranku.
Masker ini, mengelabui semua orang, menutupi diri semua orang.
Hal ini kusadari karena suatu kali, saat aku tiba di tujuan dengan menggunakan ojek online, aku memberikan uang dan mengucapkan terima kasih sambil "tersenyum".
Si bapak hanya mengangguk tanpa membalas senyumku, kemudian ...
Ah... aku kan masih menggunakan masker, pantas saja, gumamku dalam hati.
Sejak saat itu aku sering memerhatikan orang-orang di transportasi umum dan jalanan yang menggunakan masker.

Tidak ada yang salah dengan masker itu. Malah bagus. Mereka menjaga kesehatan mereka dan jika mereka memiliki penyakit, mereka tidak berniat menularkannya pada orang lain. Tapi ada pandangan negatif akan hal itu. Masker itu semakin menjauhkan kita dari sesama. Seakan tidak peduli pada sekeliling dan orang lain. Itu pandanganku.

Aku semakin tidak suka dengan masker itu.
Aku melihat  mereka yang memakai masker itu dengan perasaan, mengapa mereka sedemikian "mengerikan"?

Aku melakukan beberapa research kecil.
Aku menaiki transportasi umum hingga beberapa kali dalam satu waktu, membagikan senyumku pada orang didalamnya. Baik yang menggunakan masker ataupun tidak.
Sebenarnya tidak kepada semua orang, lebih tepatnya kepada orang yang misalnya harus berdiri bersamaku didalam transportasi umum itu karena sudah penuh dan kami saling bersenggolan atau ketika aku memberikan tempat duduk kepada ibu yang berdiri didalam transportasi umum itu.
Dan bagaimana hasilnya?
Aku merasa tidak dihargai ketika aku tersenyum pada seseorang yang menggunakan masker. Karena, aku tidak tahu apakah dia sebenarnya tersenyum juga padaku atau malah sinis atau malah ekspresinya datar.
Dan
Aku merasa sangat bahagia ketika aku tersenyum pada seseorang yang tidak menggunakan masker. Karena, aku bisa melihat dia tersenyum kembali padaku. Bahkan aku juga bahagia ketika aku harus menerima seseorang yang membalas senyumku dengan wajah datar, paling tidak aku tahu bagaimana ekspresinya.

Jakarta,
dan orang-orang bermasker di dalamnya.
Jakarta,
dengan segala bentuk ketidakpeduliannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan