Kerinduan di Akhir Senja [1]

Intan mencoba menutup mata dan berharap bisa terlelap. Tapi untuk kesekian kali dia menggerak-gerakkan badannya tanda tak nyaman. Akhirnya ia memutuskan untuk bangun, duduk ditempat tidurnya dan merutuki dirinya sendiri. Dia mulai menarik-narik rambutnya sendiri kemudian memukul-mukul kepalanya dan perlahan isak tangis terdengar. Dia menangis, lagi.
Entah berapa lama dia menangis, akhirnya lelah menghampirinya dan dia terlelap.
Jam sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB saat sebuah suara terdengar sangat mengganggu, "Intan bangun. Kamu gak sekolah? Ini sudah setengah 7. Cepat. Mama juga harus cepat berangkat ni. Kamu naik angkot aja ya ke sekolahnya."
Intan mencoba mengumpulkan nyawanya dan menjawab, "Iya ma, ini uda bangun kok."
"Jangan tidur lagi, awas kalo kamu sampai tidak sekolah. Mama berangkat ya sayang. Bye...", suara mamanya terdengar menjauh bersama motor yang dinaiki mamanya.
Intan menghidupkan radio tua kesayangannya. Siaran radio pagi ini biasanya ampuh menjadi moodbooster-nya, tapi lagu Bimbang yang dibawakan Melly Goeslaw benar-benar membuatnya jadi malas bergerak. Hampir dia meneteskan airmata lagi sampai dia mengendalikan dirinya sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanda TIDAK. Secara cepat tangannya menekan tombol off radionya.
Dia beranjak ke kamar mandi. Dibawah guyuran shower, dia meraung sekuat tenaga. Kali ini dia tidak mencoba menahan emosi dan air matanya. Mamanya sudah tidak di rumah. Hanya dia sendiri yang menjadi penghuni rumah besar itu.
"Aaaaaaaaaaaaaaa....!!!"

Raungan suara Intan ternyata menembus dinding rumahnya. Dia tidak menyadarinya, tapi ada seseorang yang menyadarinya, Arif. Dia baru saja mengeluarkan sepedanya untuk berangkat ke sekolah. Dia langsung melihat kearah rumah Intan. Kemudian dia memalingkan pandangannya tanda tak peduli. Baru saja ia ingin mengayuh sepedanya sampai akhirnya ia turun dan memarkirkan sepedanya. Terlihat dia marah pada dirinya sendiri karena akhirnya hatinya selalu memenangkan kontes perasaan yang selalu terjadi padanya. Padahal dia mencoba untuk tidak peduli pada suara Intan.
Arif membuka gerbang rumah Intan yang memang tidak terkunci. Dia mulai mengetuk pintu yang sebenarnya sangat terlihat tak terkunci. Tidak ada jawaban. Akhirnya Arif masuk ke rumah itu tanpa permisi. Kini yang ia dengar hanya isak tangis. Dia mencari sumber suara. Melewati ruang tamu menuju dapur. Sebelum sampai di dapur, ia berhenti. Tepat di depan kamar Intan. Ia bisa mendengar suara tangisan itu berasal dari kamar itu.
"Intan, kamu kenapa?", tanya Arif sambil mengetuk. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk semakin keras. Tangisan berhenti. Suara shower juga berhenti.
"Siapa disana?", suara Intan masih sesenggukan.
"Arif. Cepat pake baju sana. Kita ke sekolah bareng. Aku nunggu diluar. Cepat! Aku gak mau telat"
"Aku gak mau ke sekolah bareng kamu. Berangkat sendiri sana", jawab Intan ketus.
"Kalau kamu gak ke sekolah. Aku juga gak akan berangkat", ancam Arif.
"Bodo!", teriak Intan dari kamarnya.
Arif berjalan ke luar rumah Intan. Ia menunggu di kursi teras rumah Intan. Jam sudah menunjukkan angka 07.05 WIB tapi Intan tidak keluar lagi. Arif mulai resah. Mereka masuk jam 07.15 WIB dan jarak ke sekolah mereka jika di tempuh dengan sepeda, paling cepat 10 menit.
Lima menit berselang, tidak ada tanda-tanda Intan keluar. Arif pasrah. Biar saja terlambat, anak ini tidak bisa ditinggal sendiri. Dia pasti tidak masuk sekolah kalau ditinggal, kata Arif dalam hati.
"I'm still waiting lazy girl", Arif berkata setengah berteriak.
Intan terkejut. Dia sudah memutuskan mengurung dirinya di kamar. Dia juga masih menggunakan baju tidur setelah mandi tadi. Dia pikir Arif sudah pergi ke sekolah. Dia keluar kamar dan menemui Arif.
Arif terkejut melihat Intan yang tak berniat pergi ke sekolah. Dia menarik tangan Intan secara kuat, berjalan cepat ke kamar Intan, melepas genggaman tangan dan membuka lemari Intan.
"Heeh.. apa-apaan kamu", Intan merespon cepat kelakuan Arif dan menjauhkan Arif dari lemari pakaiannya.
"Ya sudah. Ambil baju sekolahmu, pakai supaya kita berangkat", kata Arif.
"Sudah terlambat. Apa gunanya ke sekolah kalau 3 les gak masuk", kata Intan hendak mengunci lemari pakaiannya.
"Ambil dan pakai. Aku menunggu di depan kamarmu. Tidak lebih dari 5 menit. Lakukan atau nanti aku mendobrak paksa pintu kamarmu dan memakaikan baju sekolahmu ke badanmu", kata Arif sambil berjalan keluar kamar Intan.
Intan melengos. Ia akhirnya menyerah dan memakai seragam sekolahnya. Ia keluar dari kamar. Arif langsung menarik tanggannya ke luar rumah. Saat hendak mengunci rumah, Arif menyadari sesuatu.
"Tas kamu, Tan", kata Arif sambil berjalan menuju kamar Intan.
Intan tak bergerak. Ia menunggu saja dengan santai di depan rumah. Arif langsung menyambar tas Intan yang ada di meja belajar kamarnya, dan dia berhenti. Dia melihat dan menyentuh sebuah pigura foto yang berisikan gambar Intan dan seorang laki-laki, menggunakan seragam SMA. Mau sampai kapan, Tan?, batin Arif.
Dia keluar  kamar dan menyerahkan tas yang diambilnya pada Intan. Arif mengunci rumah dan gerbang dan menyerahkan kunci pada Intan.
"Naik, pegang bahu. Berdiri yang bagus, liat ke depan, jangan melamun. Ntar kamu jatuh lagi", kata Arif sambil mulai mengayuh sepedanya.

Benar saja. Mereka tiba di sekolah jam 07.40 WIB. Gerbang sudah dikunci. Arif kesal, dia menendang gerbang sekolah sehingga menimbulkan bunyi yang membuat satpam datang.
"Sudah, pulang saja den. Sudah terlambat 20 menit", kata pak satpam pada Arif.
Intan tiba-tiba mendekati satpam tersebut, berbicara pada pak satpam yang dipisahkan gerbang sekolah.
"Pak, tolong dong maafkan kita. Tadi kita itu kecelakaan,Pak. Ni liat lengan saya pak. Tadi dia nolongin saya Pak, makanya kita telat", Intan menunjukkan lengan bagian atasnya yang diperban dengan kain putih.
Arif terkejut namun diam saja. Setelah berdebat dan memohon akhirnya Arif dan Intan diperbolehkan masuk ke sekolah dengan syarat melapor dulu pada Guru BP.
Apa yang dikatakan Intan benar. Mereka tidak diperbolehkan masuk kelas sampai 3 jam pelajaran. Namun, untungnya guru BP tidak memberikan hukuman lain karena beliau rapat dengan para guru lain.
"Kamu kebiasaan datang telat ya makanya tau bakal ditahan gak boleh masuk 3 les pelajaran?", tanya Arif pada Intan. Sekarang mereka terlihat santai di kantin sekolah.
Intan tak menjawab. Dia masih asik dengan nasi gorengnya. Saking kesalnya, Arif pergi meninggalkan Intan. Intan menoleh ke belakang melihat kepergian Arif. Sama saja, gumam Intan.

Pulang sekolah Intan berjalan menuju sebuah taman. Di depan kolam kecil taman itu, ada sebuah pohon besar dengan akar-akar yang mulai sesak di tanah dan memutuskan muncul ke permukaan tanah. Intan duduk di salah satu akar pohon itu menghadap ke kolam. Ia meletakkan tasnya, mengeluarkan smartphone dan headset-nya dan mulai memutar list lagunya.
Kali ini dia tidak menangis. Dia hanya terlihat sendu menikmati alunan lagu dari hp-nya. Sepertinya dia menyediakan list lagu khusus yang berisi urutan lagu galau. Setelah beberapa menit, dia mengambil catatan kecil dari tasnya.
Mulai menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan