Amsal 17:17

Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.


Dia membatalkan jadwal nonton bersama teman-temannya karena aku. Ia menghentikan taxi dan melaju pulang karena kubilang aku menunggunya. Tanpa rengekan.
Tidak ada kata pembukaan. Semua mengalir dan dia menunggu, mendengar, dengan sebatang rokok di tangan kanannya.
"Menurutmu aku harus gimana?", kuakhiri dengan sebuah tanya.
Perutnya yang buncit tidak lagi menjadi hal aneh bagiku. Telanjang dada di depanku karena gerahnya Jakarta menjadi pengalaman yang biasa saja darinya.

...
Hening.
"Kau tau jawabanku".
...
Hening (lagi).
"Enggak. Aku ga tau", sahutku.
"Jawabanku sama dengan jawaban-jawabanku sebelumnya. Sudah berapa kali kau mempertanyakan ini padaku?", dia menekankan lagi kata-katanya.
Aku tertunduk, ya aku tau, sahutku dalam hati.

"Ayolah, kau tau seberapa keras aku bertahan pada jawabanku saat kau memilih pilihan yang lain bukan? Aku bisa apa? Kau yang memutuskan! Kalau sudah begini, aku sebagai sahabatmu ya hanya bisa mendengar dan memberikan pandanganku. Terlepas kau akan menerima, mengikuti atau tidak. Kita bukan lagi anak SMA yang sedang mencoba lalu bisa berkata oh, ternyata ini tidak baik. Enggak! Coba kau hitung ini kali keberapa kau menerima dan merasakan kejadian yang sama? Apa aku harus mengulang dengan rinci semua kejadian-kejadian itu? Sampai kapan kau terjerat dengan hal yang itu-itu saja".

"Tapi ini berat", selaku.
"Haah? Kau selalu mengatakan hal itu. Dulu juga begitu, tapi kau bisa kan? Dulu aku masih ingat bagaimana gilanya kau saat kejadian pertama itu terjadi. Berapa lama?"
"Bertahun", lanjutku.
"Tapi bisa kan?", katanya, menghirup lagi rokok ditangannya, kemudian membuang puntungnya asal.
"Iya, tapi ini beda".
"Tidak. Tidak ada yang berbeda. Kau yang terlalu takut, tidak mau memilih. Sampai saat ini, kau tau, kami bertiga masih memegang satu kiblat yang sama. Kau tau itu? Dan tidak berubah. Tapi kenapa kau menjadi seperti ini? Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau tidak sanggup? Parasmu, karirmu, kehidupanmu? Apa lagi yang kurang? Semua sudah lebih dari kata cukup. Sebenarnya kau sudah tau hatimu mau apa, tapi kau ragu. Itulah kenapa aku bisa ada disini. Kau dengan semua perasaanmu, dan aku yang mungkin lebih menggunakan logikaku. Sekarang mari kita berbagi. Kau sudah cukup menceritakan tentang semuanya dengan perasaan, ayo kita berpikir secara logika".
"Jawaban secara logika dariku adalah dia masih kurang matang. Mengerti?", kujawab dengan anggukan.

"Ini adalah saat dimana dia sedang menikmati masa berjayanya dengan semua yang sudah ada padanya. Itu saja. Dia bukan sepertiku. Tidak harus kuceritakan bagaimana detail dan matangnya dulu, kami, merencakan semuanya. Kau adalah orang pertama yang selalu tau tentang kami. Tapi sekarang apa? Kau tau kan apa yang tersisa. Dia belum melewati masa itu. Semua hal yang dibagikan padamu, apakah akhirnya pasti untukmu juga? Masalah kata-kata dan rencana memang bisa diungkapkan dengan gampang, tapi takdir? Tidak bertuhan pun aku, aku masih memercayai takdir. Bahkan jika kini takdirku begini, tak jarang aku memikirkan kenapa. Aku tidak memaksamu ikut pandanganku, tapi ingat ada hal yang sama yang akan berulang dan mungkin akan membuatmu seperti ini lagi".

"Berikan waktu untuk dirimu sendiri menilai, mendalami dan mengerti ada apa. Aku tau tipemu. Delapan tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal dan merasakan tiap kisah yang kau bagikan. Kau lebih hebat dari ini. Komitmenkan hatimu pada satu cara. Jika kau bisa melewatinya, kau pasti akan menemukan titik terang. Itu saja. Ayo gereja!"

Kami akhiri pembicaraan itu dengan melihat arloji bahwa jam menunjukkan pukul 19.20 dan ibadah di gereja dimulai 19.30.
Haha ...
Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan