Pergilah, Ma..

Kecelakaan itu membuat dia yang sangat kusayangi, koma, tidak sadar, Mama. Aku tidak tau seperti apa yang dirasakan mama saat itu. Ia duduk dikursi paling ujung angkutan umum itu dan kereta api itu secara cepat melaju dan menabrak angkutan umum yang dinaiki mama, tepat menghantam bagian belakang angkutan umum itu.
Aku? Shock, takut, sedih, kecewa, semua bercampur menjadi satu. Aku tidak bisa secepat kilat terbang menyebrangi pulau Jawa untuk sampai diujung pulau Sumatra sana. Bidadari kecil dan pangeran kecilku hanya bisa menangis disebrang telepon sana. Aku tidak bisa menahan semuanya, aku tidak bisa menangis. Aku tidak mungkin semakin menghancurkan harapan bidadari dan pangeran kecilku, adik-adikku, dengan tangisanku juga.
Keluargaku yang lain menjadi perpanjangan tanganku untuk merawat mama dan menenangkan adik-adikku. Aku hanya bisa mengandalkan doaku. Berhari-hari keadaan mama naik turun. Kadang sudah mulai normal dan kadang down kembali.
Mama belum sadar. Tidak lagi dapat melihat tangisan bidadari dan pengeran kecilku. Tapi mungkin ia merasakannya. Mama sedang berjuang, melawan semua ketidaksiapan yang harus ia terima.

Dan, mama berhenti bernafas...
Sekian waktu kemudian ia bernafas lagi. Histeris luar biasa keadaan rumah sakit waktu itu.
Puji atas kemuliaan Tuhan tercipta dalam mama.
Aku sedang mengurus kepulanganku ke kampung halamanku, "Tunggu kakak ma", batinku.
Namun. Sebelum pesawat menerbangkan aku,
mama, kali ini, benar-benar berhenti bernafas, selamanya...
Kali ini bukan shock atau kecewa, aku kosong.
Kau tau? seperti raga tanpa jiwa. Jiwaku berkelana, mencari mama agar ia kembali. Aku terjatuh, ragaku hancur dengan sendirinya.
Pesawat membawaku dengan kekosonganku. Semua kenangan ingin dikuak keluar namun ternyata hanya menari dalam pikiran tanpa terstruktur.
Mama dengan senyumannya, mama dengan doa-doanya, mama dengan ceritanya, mama dengan nasehatnya, mama dengan marah-marahnya, mama dengan hatinya yang besar, mama dengan pelayanannya di gereja, mama dengan jiwanya yang sabar akan olok-olok orang. Mama, segalanya ...

Kini, aku hanya melihat raga yang benar-benar tanpa jiwa, dihadapanku. Tidak, harusnya mama masih membuka pintu saat aku pulang. Mama harusnya masih tersenyum memelukku sambil bertanya, "sehatnya kakak?"
Sekarang, rumah ramai. Ramai akan kesedihan karena jiwa mama tidak akan kembali.
Ternyata seperti ini Tuhan menggariskan kepergian mama. Bukan seperti yang aku dan semua orang lain pikirkan.
Tenanglah ma. Iman akan Tuhan yang kau ajarkan membuat kami kuat. Pergilah ma. Bapa disurga mencintaimu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan