Tentang hati : Setiap orang berhak memilih

Aku menulis ini di sebuah bangku di depan altar gereja katolik di Jakarta. Tidak boleh bermain hp di gereja. Iya, aku tau aturan itu. Tapi aku membuat pengecualian untuk diriku sendiri karena sedang tidak ada ibadah di tempat ini. Aku menunggu rombongan pengantin yang akan melaksanakan penerimaan sakramen perkawinan. Sekitar tiga puluh menit lagi.

Entah kenapa, beberapa tahun belakangan ini aku sulit menulis cerita dari sudut pandang orang ketiga. Kali ini aku ingin menulis cerita yang alurnya sedang hilir mudik dipikiranku. Jadi kutuangkan saja dari sudut pandang orang pertama. Aku.

Setiap orang berhak memilih. Untungnya aku hidup di negara yang memberikan keleluasaan pada setiap individu untuk bebas memilih.

Beberapa waktu lalu aku dekat dengan seorang pria. Sudah lama kukenal, dan aku sudah menyukainya sejak lama. Hanya saja sejak kami berkenalan, dia sudah punya pacar. Wah, tembok pembatas pada perasaanku tentu saja kupasang tinggi dan kuat.
Tiga tahun setelah kami berkenalan, dia putus dengan pacarnya. Dan kami dekat, aku lupa awalnya dari mana.
Tapi ada yang kuingat. Waktu itu kami menonton konser musik bersama teman-teman. Setelah selesai acara, kami mencari makan dan hanya kami berdua yang memutuskan makan mie ayam abang-abang pinggir jalan. Kami bercerita banyak hal. Perihal pekerjaan, orang tua dan penyebabnya putus dengan mantannya.
Setelahnya sebenarnya kami tidak banyak menghabiskan waktu bersama. Bertemu dua kali seminggu karena kami berada di satu organisasi. Beberapa kali menghabiskan waktu dengan menonton di bioskop. Oh, dia pernah menyuapiku popcorn. Ergh... itu aneh. Maksudku, belum pernah ada yang memperlakukanku begitu. Beberapa menyebutnya manis. Untukku, ehm, entah. Tidak terbiasa.
Oh, aku pernah menemaninya membeli gitar. Caranya mencoba gitar di toko alat musik itu membuatku, ehm, meleleh. Dia manis sekali. Siapa sih perempuan yang tidak senang melihat seorang lelaki memainkan melodi dari gitar dengan begitu indah? Kau, yang sedang membaca tulisan ini, pasti setuju juga denganku.

Dia memperkenalkanku pada kalimba. Kalimba adalah sebuah alat musik perkusi. Merupakan versi modern dari alat musik mbira dari Afrika bagian selatan. Terdiri dari sebuah kotak suara dengan tuts-tuts logam yang menempel ke bagian atas untuk memberikan not-not berbeda, kata wikipedia. Dia mengirimiku beberapa menit melodi yang dihasilkan dari kalimbanya. Kujadikan pengantar tidurku.

Satu lagi, kami pernah menghabiskan sebuah minggu sore dengan olahraga bersama. Di Geloran Bung Karno. Setelah olahraga, ya makan. Hahahaha...
Olahraga hanya modus untuk menghabiskan waktu bersama untuk kemudian saling bercerita. Rasanya menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama dengan bercerita.

Nah, kemudian sesuatu terjadi. Ini masalah media sosial. Bukan hal yang berarti, harusnya. Tapi ternyata ini gong-nya.
Dia menyembunyikanku dari unggahan media sosialnya. Aku mendapati sendiri dia melakukan hal tersebut. Aku tidak mempermasalahkan apa yang dia lakukan. Karena unggahannya pun tidak ada urusannya denganku, harusnya. Tapi aku penasaran dengan alasannya, mengapa dia melakukan hal itu.
Setelah beberapa hari, aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
"Kenapa mas melakukan hal itu?", dia kikuk, tidak mampu menjelaskan. Dia salah tingkah, mencoba mencari alasan, tapi tak ditemukannya.
Kemudian dia menjawab, "Yaudah, nih aku ga hide kamu lagi ya".
Keningku mengerinyit, "Bukan, bukan itu yang kuminta. Mas boleh melakukan apa pun. Itu kan media sosial mas. Aku hanya penasaran kenapa mas melakukan hal tersebut. Toh unggahan mas kan tak ada hubungannya denganku", dia merasa disudutkan sepertinya. Tidak tau harus berkata apa.
Akhirnya dia hanya bisa menjawab, "Nanti kamu juga mengerti maksudku"
Aku tidak melanjutkan lagi.

Beberapa minggu setelah itu, banyak unggahan di media sosialnya. Tentang dia dan seorang perempuan.
Iya, dia sudah punya "teman" perempuan. Tidak perlu menghitung bulan untuk melihat keromantisan mereka. Akhirnya aku paham maksud kalimat nanti kamu juga mengerti maksudku
Aku mengerti. Tapi rasanya aku ingin menyampaikan sesuatu. Sekitar dua atau tiga bulan sejak unggahan keromantisan mereka, aku memberanikan diri menyampaikan sesuatu. Kira-kira isinya, "jangan bersikap manis pada lawan jenis jika tak punya tujuan."
Lalu dia bilang awalnya dia memiliki tujuan denganku tapi akhirnya memutuskan sesuatu yang lain. Aku tidak menginginkan hal lain lagi. Waktu dia bilang, "ayolah berteman seperti biasa lagi". Aku hanya membalas, "sewajarnya saja".

Aku tidak marah atau sakit hati. Aku hanya sedikit kecewa. Namun kembali ke kalimat di awal cerita.
Setiap orang berhak memilih.
Aku ingin memilihnya tapi dia tidak memilihku.
Beberapa cerita memang tidak selalu berakhir manis, bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan