Kakak : Aku menyayangimu

Aku tidak tau apakah kau melakukan hal yang sama denganku. Mencoba mempelajari kepribadianmu, tingkah lakumu, bagaimana kau bersikap akan sesuatu. Aku melakukannya untukmu. Entah kau tau atau tidak.
Kenapa aku melakukannya?
Karena aku menyayangimu. Alasan sederhana.

Aku tidak pernah mengatakan hal itu secara eksplisit padamu. Rasanya aneh. Tapi aku melakukan banyak hal untuk membuktikannya.
Aku memeluk dan menciummu disaat yang tidak terprediksi.
Sangat jarang kau tolak. Aku hampir tak pernah menolakmu jika kau mengajakku ke suatu tempat, karena memang hal tersebut jarang terjadi. Aku tau kau juga menyayangiku dengan cara yang lain.

Kau peduli padaku, dengan caramu, aku tau.
Contohnya saat aku terlambat bangun dan hampir ketinggalan pesawat. Kau ikut panik dan membantuku.
Kau membantuku memilihkan baju apa yang harus kugunakan ke pesta pernikahan temanku. Kau mengajariku bagaimana cara berdandan.
Kau yang menyetrika pakaianku saat aku mengambil peran mencuci semua baju kita.

Kita tidak begitu akrab. Aku yang ekstrovert dan kau sebaliknya. Banyak waktu kita yang terbuang begitu saja karena kita sibuk dengan ponsel masing-masing padahal kita di satu ruangan yang sama.
Kita jarang sekali gereja bersama karena aku sibuk dengan paduan suaraku atau kau yang selalu lebih ingin gereja sore.
Aku yang selalu ingin kau mengenal dunia lebih luas lagi dengan cara mengajakmu berjalan-jalan, tapi kau lebih senang menghabiskan waktumu di kamar, sekadar tiduran sambil bermain ponsel. Bahkan untuk makan saja kau mengandalkan ojek online.

Sampai SMA, aku sempat cemburu pada teman-temanmu. Karena rasanya mereka lebih mengenal kepribadianmu dibanding aku. Cemburu dan sedih lebih tepatnya.
Sampai di awal usia 20-mu, untuk pertama kalinya kau meneleponku sambil menangis, bercerita tentang seorang pria. Aku tidak sedih pada ceritamu. Semua orang memang harus melewati fase patah hati. Dan aku senang. Aku bukan senang karena kau patah hati, tapi karena kau memilihku untuk menjadi teman bercerita walau pada saat itu kita tidak berada pada satu tempat yang sama.
Aku terharu karena kau mulai membuka diri untuk bercerita padaku.

Setelah di perantauan, kita memilih hidup bersama. Banyak hal yang terjadi. Senang, marah, tertawa, dan diam.
Aku, entah bagaimana, ingin kau menjadi pribadi yang lebih berani lagi. Kau pemalu sekali. Sekarang sudah banyak berubah, kau sudah lebih berani pada banyak hal. Kau hebat.
Kita tidak pernah mempermasalahkan jam pulang ke kosan. Entah kadang aku yang pulang lewat tengah malam atau kau yang menginap di kos temanmu, kita baik-baik saja dengan itu.
Aku tau kau bukan tipe pencerita, makanya aku yang selalu menelepon bapak mama untuk menanyakan kabar mereka, supaya kau berkomunikasi dengan mereka.
Kita hampir tidak pernah membicarakan tentang gaji. Aku yang merasa itu sangat sensitif jika dibicarakan denganmu. Tapi kita membicarakan cara menabung. Dan kau mengajakku membuat tabungan emas. Terima kasih.

Kuberitahu kau sesuatu tentang aku. Jika aku sedang marah, entah karena apa pun, pelampiasannya adalah marah atau menangis. Tapi aku hampir tak bisa melakukan keduanya jika bersamamu. Karena jika aku marah, kau akan melawan atau diam saja. Aku tidak suka hal itu terjadi.
Dan jika aku menangis?
Tentu saja aku tidak mau menangis di depanmu. Harga diriku sebagai yang lebih tua masih kupikirkan.
Karena kedua hal tersebut tidak kulakukan, aku memendam, menekannya ke lubuk hatiku.
Tapi aku tipe orang yang mudah marah dan mudah baik kembali. Ketika aku marah padamu, mungkin besok sudah tidak lagi. Tapi jika kau diam, aku tidak tau harus berbuat apa.
Aku sudah bilang aku masih mempelajarimu.
Itu sebabnya aku beritahu tentang hal itu setelah natal kemarin. Aku menunggu hingga moodmu baik untuk membicarakan hal yang kukesalkan padamu. Tapi jika menunggu moodmu kembali baik, rasanya aku lebih memilih "ah, yaudahlah"

Aku akhirnya memberitahu mama bapak tentang kekesalanku padamu selama hidup dua tahun bersama. Kau diam saja. Padahal beberapa menit sebelumnya kau masih senang bercerita kita tinggal bersama di kosan yang harganya masih murah di sekitar Jakarta Selatan.
Aku sempat mengatakan bahwa ada beberapa privasi yang tak kumiliki lagi setelah aku hidup bersamamu. Tapi tidak apa, kataku kemarin itu. Aku ingat.
Besoknya kau juga masih diam saja. Di kamar kita tidak saling bercerita. Tapi dua hari kemudian kita sudah berbicara seperti biasa.

Dua hari setelah kembali dari liburan, kau mengambil keputusan untuk pindah ke kosan baru. Kau menyampaikannya lewat pesan singkat.
Aku menangis. Kencang sekali. Aku menelepon salah satu sahabatku yang berada di Malang. Dia mendengarkan dan menasihatiku.
Hari-hari setelah pemberitahuanmu adalah hari yang panjang dan menyedihkan untukku.
Aku tidak bisa memprediksi bahwa aku akan merasakan sedih sedalam itu.

Kuoikir kau marah atau dendam padaku. Maka aku berani bertanya kenapa kau memutuskan pindah.
Jawabanmu? Katamu kau lebih butuh privasi.
Sepertinya kau tidak suka aku berada di kos itu.
Ooh, hanya begitu balasmu. Intinya kau bilang bahwa kau tidak marah atau dendam padaku.
Keesokannya kau pindah, membawa serta semua barangmu ke tempat baru.
aku tidak bisa menahan air mataku, aku butuh seseorang untuk bicara. Aku keluar dari kamar dan bercerita pada mama.
Tapi kau pasti bisa menebak bahwa mama juga menangis mendengarku menangis.

Setelah membantumu pindahan, aku tidak berhenti menangis semalaman. Kucoba menghubungi temanku untuk bercerita. Kami keliling Jakarta malam itu, hanya menunggu sampai aku lelah, supaya pulang untuk tidur saja.
Dan pagi harinya aku mebali menangis. Kau tidak akan sadar aku secengeng itu. Aku ingin bercerita pada bapak, tapi gengsiku masih setinggi langit. Kuurungkan!

Sepulang kerja aku teringat padamu. Jika aku pulang malam, lampu kamar kosan tidak akan lagi menyala. Biasanya pasti sudah menyala dan kau ada di dalamnya.
Sekarang tujuan kita sudah berbeda. Kita pulang ke pintu yang berbeda. Tujuan ojek online kita tidak lagi menuju alamat yang sama.
Sedih sekali rasanya !

Tapi aku pernah sesedih ini. Memaafkan diri sendiri dan menerima keadaan adalah hal yang harus kuusahakan.
Aku mengambil sisi positifnya bahwa kau akan mandiri dengan tinggal sendiri.
Maaf.
Aku menyayangimu, dek.

Tertanda,
kakak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan