Setidaknya, aku pernah

Aku pernah ada di satu titik dimana kelenjar air mata menyerah untuk berproduksi. Kemudian cairan dalam tubuhku seakan menguap tak bersisa, membuat tenggorokanku tercekat ketika, lagi, malam membangunkanku untuk mencoba memeluk diri sendiri yang sudah terlalu rapuh untuk dipaksa berharap pada semesta.

Aku pernah mengutuk mengapa pagi tidak hadir diawali dengan jam sepuluh pagi dan jam kantor adalah pertanda pergantian hari. Karena semua spasi tanpa pengalihan isu alias pekerjaan kantor, membuat pikiran dan perasaan kembali bertengkar hebat. Dan tentu saja pada saat itu pikiran tidak lagi menang karena rapuhnya perasaan tidak dapat diobati. Ibaratnya jika memaksa perasaan untuk mengangkat ego, ia akan hancur.

Aku pernah benci pada hati yang sudah distimulus dengan logika tapi tetap saja tidak membuahkan hasil. Ia bertengger pada perasaan sakit hati penyebab kehancurannya yang aku sendiri tak tau kapan terobati, kapan sembuh dan bagaimana caranya.

Jika kau tanya sekarang bagaimana aku melewatinya?
Tentu saja aku tidak tau.

Jika aku mengirimkan tulisan ini pada publik, apakah aku masih ada di titik hancur?
Ah, publik bukannya lebih mengerti?
Hahaha...
Aku tidak tau

Tapi aku bisa mengerti bahwa ada perkara jenis lain yang bisa menghancurkan, yang lebih hebat dari sini. Entah akan terjadi, aku tidak tau.

Setidaknya, aku pernah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan