Empat Pertemuan yang Membuat Aku Mengerti

Dia lembut sekali. Paling tidak dialah yang paling lembut dan manis diantara empat belas orang lainnya. Ternyata yang mengakui hal tersebut bukan hanya aku, tapi juga teman-teman perempuan yang lain. Maka dari itu aku tidak memilihnya menjadi objek surat cintaku yang dibuat dengan paksaan sebagai mahasiswa baru terhadap seniornya. Aku merasa suratku akan menjadi hal paling bodoh diantara tumpukan surat lainnya. Yang setelah enam tahun baru kusadari bahwa semua surat tidak punya arti apa pun bagi mereka.

Beberapa kali aku mendengar gosip tentangnya. Tentu saja aku hanya sebagai pendengar karena aku tidak punya informasi apa pun tentang dia. Misalnya tentang dia pacaran dengan seorang wanita pendiam yang cantik sekali setelah beberapa kali dituduh sebagai playboy, tentang jurusan kuliah yang ternyata bukan pilihannya sendiri. Entah berita itu benar atau tidak. Yah,gosip seputar itu, lalu sudah.

Lima tahun setelah mengenalnya, tidak lagi di lingkungan yang sama, kami berteman di dunia maya, tentu saja dia adalah satu diantara ribuan teman lainnya, termasuk beberapa orang senior jaman kuliah dulu.
Beberapa kali dia memberi komentar terhadap postinganku di dunia maya, tentang apa pun. Tentang persahabatan, tentang suatu tempat, tentang cinta, tentang buku. Ternyata banyak hal yang bisa saling kami bagi dari komentar-komentar itu. Bukan tentang karena aku menyukainya jaman kuliah dulu, tapi karena banyak pandangan berbeda antara kami yang membuat aku tertarik membahasnya lebih lanjut.

Pertama kalinya kami bertemu karena sebuah buku. Di pertemuan pertama yang tak lebih dari dua jam itu, aku tau bahwa kini dia sedang menikmati kesendiriannya setelah gagal membangun sebuah hubungan dengan wanita yang menurutku luar biasa sekali. Oh, bukan dengan wanita pendiam yang cantik jaman kuliah dulu. Lalu dia bercerita tentang perjalanannya yang membuat aku berdecak kagum. Ah, hebat !
Untuk kesekian kalinya aku merutuki hidupku yang dilahirkan sebagai wanita. Coba kalau aku pria, pasti aku bisa sepertinya.
Ternyata dia adalah pribadi yang mempesona. Seorang laki-laki pencerita dan pemimpi. Sayang sekali kisah cintanya kandas dengan wanita luar biasa itu. Seharusnya mereka bisa menjadi pasangan yang sempurna, tapi takdir, siapa yang tau?

Pertemuan kedua kami, di sebuah pameran penulis hebat. Aku penasaran dengan karya yang belum pernah dipublikasikan namun di pamerkan dan dia juga, dia membaca beberapa karya si penulis dan tertarik ketika mengetahui pameran tersebut. Kami menghabiskan waktu tidak lebih dari satu jam disana. Yang dilanjutkan dengan menyeruput kopi di sebuah toko kopi dekat pameran tersebut dan harus diguyur hujan deras kala itu. Sudah sore dan aku menyarankan untuk pergi ke sebuah resto sederhana dengan makanan tradisional dari ujung Pulau Sumatera. Kami menghabiskan waktu sepuluh jam bersama hari itu. Jika ditanya apa saja yang sudah kami bicarakan? Ah, banyak sekali. Termasuk alasan dia berpisah dengan gadisnya.
Di perpisahan malam menyambut pagi itu, kalimat yang kusampaikan adalah, "Apa kita bisa ketemu dan cerita seperti ini lagi?".
Dan disambut dengan kata tentu saja darinya.

Pertemuan ketiga kami diawali di sebuah kedai kecil yang menjual berbagai minuman tradisional. Aku mengangkat alis, bingung-tak percaya, saat menerima pesan darinya ketika aku bertanya bertemu dimana. Dia menyarankan aku sebuah minuman yang aku sendiri tak ingat kapan aku bercerita padanya bahwa aku butuh minuman seperti itu. Aku malu, akhirnya dia yang memesankannya padaku. Dan aku menambah pesanan, sebuah makanan yang akhirnya kuputuskan untuk kupesan setelah dia menyuapiku satu sendok makanan itu. Bagaimana, dia memang cukup manis bukan? Hahaha...
Dia bilang kedai itu akan lebih ramai mulai sore menjelang malam. Tapi karena kami datang siang hari, keadaan kedai memang lebih lengang.
"Aku dan dia biasa duduk disana", dia menunjuk sebuah meja disudut kiri kedai setelah kutanya apakah dia sudah sering ketempat itu. "Dia" yang dimaksud adalah mantan pacarnya.
"Aku menghindari tempat yang sering kami datangi berdua, contohnya timezone di mall besar di bagian barat sana. Biasanya aku main basket dan dia hanya menontonku. Ah, kadang dia bermain juga. Main pukul-pukul tikus itu loh", lanjutnya.
"Lalu kenapa mengajakku kesini?", tanyaku.
"Oh, lagi pengen kesini aja. Pengen tunjukin minuman itu juga", jawabnya, yang kujawab dengan anggukan saja.
Lalu kembali bercerita dengannya tentang banyak hal. Dia meminjamkanku sebuah buku dari seorang penulis favoritku hari itu.
Kami meninggalkan kedai itu ketika pelanggan mulai banyak, berniat berhenti di sebuah restoran cepat saji di ujung jalan yang diakhiri dengan kegalauan "mau kemana setelah ini".
"Aku pengen liat air mancur menari yang di monas deh", kataku, "tapi baru ada malam jam tujuh. Gimana?"
"Boleh, kalau gitu kita nongkrong dekat monas saja", katanya.
Akhirnya kami memang berhenti di restoran cepat saji, tapi dekat dengan monas, memesan beberapa makanan yang diselingi dengan kata-katanya, "pasti sajiannya ga sesuai dengan gambarnya". Lelaki bawel kataku dalam hati.
Dan setelah pesanannya datang, dia tersenyum, memandangku dan berkata, "Kan..."
Di restoran cepat saji itu akhirnya aku bercerita tentang seseorang yang pernah mengisi hariku tapi tidak pernah menunjukkan wujudnya. Dia sampai berceloteh, "aku punya teman mata-mata di kepolisian, aku bisa membantu kalau kau butuh bantuannya"
Tentu saja kujawab dengan tidak dan dilanjutkan dengan dia yang berkata, "untuk apa juga orang seperti itu tetap kau cari"
Ya, dia satu dari sekian banyak orang yang berpendapat sama tentang orang yang kuceritakan itu.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul tujuh, kami meninggalkan restoran cepat saji itu dan berjalan menuju monas, menyaksikan air mancur yang sejak lama ingin sekali kulihat. Kami menyaksikan dalam diam, tanpa ponsel mengabadikan apa yang di depan mata kami.
"Mau kufoto?", ujarku setelah pertunjukannya hampir selesai.
"Ah, tidak. Sini, kau saja kufoto", tawarnya yang kutanggapi dengan tidak perlu.
Pertunjukkan air mancur yang tidak lebih dari tiga puluh menit itu cukup menghibur malam. Lalu aku mengajaknya berjalan mengelilingi monas. Berdebat tentang tuhan, tentang ibadah, tentang kitab suci dan orang penting di dalam agama dan tentang kematian.
Dia melewatkan perempat final Piala Dunia karena aku. Dan aku punya dua belas jam yang lain dengannya di hari itu.

Pertemuan selanjutnya, kami berencana liburan bersama, melarikan diri sebentar dari hiruk pikuk ibu kota. Dari perjalanan bersama itu aku sampai pada titik dimana aku tau hatiku mau apa. Aku cukup terhibur dengan kedekatanku dengannya, tapi aku tidak ingin dan tidak bisa mengubahnya, tidak mau lebih dari ini. Awalnya kupikir dengan kedekatan kami, aku akan mengingininya lebih, ternyata tidak. Untuk pertama kalinya aku menyukai seseorang dan aku tidak mengingininya menjadi milikku. Begini saja cukup, kataku.

Setelah perjalanan itu, waktu berbincang kami tidak sesering sebelumnya. Jika ditanya kenapa, aku tidak tau. Mungkin karena aku sibuk dengan pekerjaanku dan dia juga. Bahkan ada di suatu kali aku menanyainya sesuatu tapi tidak dibalas, namun dia melihat update-an postinganku di dunia maya. Baiklah kataku dalam hati.
Mengenalnya secara individu memang luar biasa. Dia luar biasa karena mau membagikan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah ku mengerti dengan baik.
Terima kasih untuk beberapa pertemuan yang membuat aku mengerti banyak hal, melihat banyak hal dari perspektif yang berbeda, belajar tentang pengambilan beberapa keputusan besar dalam hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan