Rinjani by his side

"Oiya, bukankah kau senang menulis? Kenapa berhenti?", tanya seorang teman.
"Oh, itu. Tidak, aku tidak berhenti. Aku tetap menulis di blogku. Tidak rutin, tapi ya kadang tetap ada kok, sedikit", jawabku mengalihkan pandangan.

"Jadi, bagaimana ceritamu tentang Rinjani?", giliranku bertanya mengganti topik.
"Wah... seru, menyenangkan. Aku tidak pandai bercerita sepertimu. Tapi aku akan cerita mulai dari awal pendakian aja ya. Kami naik dari pintu Sembalun. Kau nonton acara Jalan-Jalan Men kan? Kau pasti tau", kujawab dengan anggukan, "ya, kami naik dari situ".
"Berapa lama?", potongku.
"Lama. Malah kami terlambat mulai mendaki. Dari pos satu ke pos kedua butuh waktu satu jam. Beda gunung beda jumlah pos. Ada gunung yang punya pos banyak. Jarak satu pos ke pos lain hanya perlu waktu jalan 20 menit, kalau Rinjani beda. Malah ada yang jarak antar pos nya harus ditempuh dalam jangka waktu dua jam", dia menjelaskan setelah melihat wajah bingungku.
"Terus kenapa kalian bisa terlambat naik?", kataku sebelum dia melanjutkan lagi.
"Kami belum prepare makanan dan minuman yang mau dibawa, so ya harus siap-siapin itu dulu makanya waktunya agak lama. Terus setelah sampai pos kedua, kami dirikan camp disitu, nginap di pos itu. Dan ada hal lucu, kami ketemu pendaki cantik", katanya tersenyum dan aku tertawa, "lucunya walaupun besoknya mereka jalan duluan meninggalkan pos, kami selalu ketemu dia di pos berikutnya. Anak management UI, namanya Risya".

"What? Kalian kenalan?"
"Engga"
"Terus kok bisa tau?", tanyaku tak mengerti, "gila ! cowok-cowok gila. Ternyata sebegininya kalian kalau mencari tau ya? Parah !", kataku sambil akhirnya tertawa.
"Ya gitu. Treknya lumayan parah. Nanti disana ketemu bukit penyesalan. Waktu di lihat ke depan, kami bisa lihat puncak mengarah ke atas dan seakan-akan sudah dekat dengan kami. Tapi ternyata, salah. Kami harus melewati jalan menanjak lalu jalan lurus kemudian menanjak lagi, lurus lagi, begitu sampai tujuh kali. Dan benar-benar menjadi bukit penyesalan bagiku."
"Karena capek?"
"Bukan! Karena, kami salah jadwal. Lebih tepatnya aku yang salah jadwal. Kami sudah planning untuk pergi sejak lama, setelah mengatur rencana dan memesan tiket pesawat, aku baru melihat jadwal kuliah, dan pendakian kami ternyata bentrok dengan UAS di kampusku. Yasudah,"
"Haah? Gila! Hahaha... Lalu apa hubungannya dengan bukit penyesalan?"
"Nah, waktu di bukit penyesalan, ponselku dapat sinyal dan pada saat yang bersamaan orang dari kampus meneleponku dan memperjelas alasanku tidak mengikuti ujian. Sebelumnya aku sudah mempersiapkan alasan bahwa ada keluargaku yang menikah. Saat mereka bertanya keluargaku itu siapa, ya kujawab saja saudara, dan alasaku itu, ditolak. Mereka hanya bisa menerima jika keluarga inti yang menikah, entah itu kakak atau adik, hanya itu."
"Jadi?"
"Entahlah, sepertinya aku harus mengulang beberapa mata kuliah, tapi nilai juga belum keluar, kita lihat saja nanti. Penyesalan dariku itu, kenapa ponselku itu harus kuaktifkan. Argh ..."
"Hahaha... Resiko bro, sudah terjadi. Lalu berapa lama waktu yang kalian butuhkan untuk sampai di puncak?"
"Dua hari. Satu pos sebelum puncak, kami berhenti dan membuat camp disana lagi. Nah setelah camp kedua, yang kami bawa keatas cuma satu tas berisi air minum. Guide tinggal di camp jagain barang-barang kami. Disini trek paling berat. Jalannya mulai berpasir dan licin. Bayangkan aja naik dua, turun satu, naik dua, turun satu. Di kanan-kiri jurang, jadi harus lebih hati-hati lagi. Kami bergantian membawa tas berisi air minum itu. Sudah mau mati rasanya saat harus membawa tas itu di trek berpasir. Bahkan kami berhenti beberapa kali di trek itu. Hampir tidak sanggup. Dan akhirnya setelah semua perjuangan itu, kami sampai puncak, dan kami kepagian dan disana dingin sekali. Untung kami bawa satu sleeping bag  yang ternyata tidak banyak membantu. Dan yang paling menyedihkan adalah kami ngeliat bule minum teh panas dengan tenangnya disaat kami mau mati kedinginan"
"Diatas ada yang jualan teh panas?", tanyaku lugu.
"Ya enggaklah. Mereka tuh pake porter. Jadi ya waktu naik cuma bawa tas kecil doang, porternya yang bawain barang yang lain, nyediain makanan, mereka cuma bawa termos, nah diatas tinggal ngeteh. Itu enaknya pake porter. Cuma ya kami gamau pake begituan supaya lebih terasa sensasi mendakinya."
"Terus kalian turun jam berapa?"
"Sekitar jam tujuh atau delapan. Pokoknya setelah matahari terbit, kami turun. Nah waktu turun kami lewat pintu Senaru. Enaknya ya gitu. Naik dari Sembalun, turun dari Senaru biar bisa dapat semua spot gunungnya. Bisa aja sih kami naik dan turun dari Sembalun, tapi kurang greget. Waktu turun dari pintu Senaru, kami melewati danau Segara Anak, salah satu danau paling tinggi dan paling indah di Indonesia. Banyak orang memancing disana, konon katanya istri Bapak Soeharto, Ibu Tien Soeharto, yang melemparkan ikan ke danau ini dari helikopter."
"Kalian tidak mandi di danau itu?"
"Tidak. Terlalu lelah, jadi kami cuma istirahat saja di camp. Dekat situ juga ada pemandian air panas. Tapi tidak boleh lagi mandi disana setelah selesai maghrib. Dan kau tau? Seperti yang kubilang diawal tadi, kami bertemu dengan pendaki cantik itu lagi waktu turun. Di sekitar batu ceper menuju plawangan senaru. Dan Simon sempat mengambil foto perempuan itu saat dia istirahat di bebatuan. Nah, kalau kami sudah lelah, pasti diantara kami ada yang bilang `minta foto penyemangat dong`. Hahaha... You know what I mean, right?"
"Wow, I see", aku mengangguk mengerti.

"Nah, itu cerita di gunung. Kami agak kesal sih ga bawa teman cewek. Malah guide-nya juga bilang harusnya kami bawa eman cewek supaya ada penyemangat. Hahaha ..."
"Terus di gili gimana?"
"Gimana ya? Duduk, minum, nikmati pantai. Banyak bule disana. Terus banyak orang pribumi yang ngajak bule-bule itu kencan. Kata guide sih, kalau kami berani, bisa tuh dapat bule disitu."
"Hhm... Kau tau sesuatu gak? Di Gili Trawangan itu ada cerita menarik", kataku padanya.
"Apa?", tanyanya penasaran.
"Jadi, kemarin temanku ada yang punya kesempatan untuk menjadi pengajar di salah satu SD di Gili Trawangan. Dia ikut Kelas Inspirasi. Dan apa yang menarik? Siswa-siswa disana bule", dia menatapku tak percaya.
"Tapi bule-bule yang bisa bahasa Indonesia. Sebenarnya ga sepenuhnya bule sih. Bapak mereka yang bule, Ibu mereka pribumi. Yang menyedihkan adalah banyak dari mereka yang gak kenal siapa Bapak mereka. You got my point, right? Nah, terus mereka itu banyak yang gak kenal luasnya dunia ini. Waktu ditanya cita-citanya jadi apa? Banyak mereka yang menjawab, mau jadi pelayan restoran, mau jadi security, ya gitu. Mereka bisa bilang gitu karena itu yang mereka lihat sehari-hari. Jarang sekali mereka mengucapkan cita-cita mereka jadi dokter, polisi, TNI, pilot atau sejenisnya. Miris kan?", kuakhiri ceritaku dengan wajah tak percayanya.
"Wah, aku ga nyangka. Di sebelah mananya ya sekolah itu?", tanyanya padaku.
"Ya mana kutau. Mungkin di pedalaman. Bukan di dekat pantai atau hotel-hotel gitu"
"Kalau penasaran, nanti cek web Kelas Inspirasi itu aja", kataku tersenyum dilanjut dengan anggukannya.

"Sekali lagi kalau mau naik gunung, ajak-ajak dong", kataku.
"Ah, kayaknya kau bukan anak gunung. Nanti ga sanggup", cukup meremehkan menurutku.
Yaah ...
Begitulah sedikit banyaknya cerita yang bisa dibagikan di tulisan ini.
Dan tulisan ini sudah disetujui oleh si pencerita.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan