Cerita seorang pria

Ia melihat sebuah raga sudah terbujur kaku. Diatas sebuah dipan yang sebelumnya terletak di kamar belakang. Raga itu tidak bergerak lagi, tidak tersenyum lagi, dan ... tidak merasakan sakit lagi.
Ia menatap nanar, hampir tak mampu bergerak jika saja abangnya tidak menepuk pundaknya. Ia melangkah, bukan menuju raga itu tapi ke kamarnya. Meletakkan tas, mengganti baju yang ia kenakan menjadi kemeja hitam. Ia menatap cermin, ia sendiri tidak mampu mendeskripsikan rupa-nya sekarang. Entah menggambarkan apa. Ayahnya sudah tiada.
Teman-teman dan sanak saudara mulai memenuhi rumah. Ia berjalan dan duduk disamping ibunya. Ibunya sudah menggunakan baju dengan warna senada dengannya. Dikepalanya diikatkan semacam kain hitam. Wajahnya penuh kedukaan, tanpa harapan. Ia hanya memeluk ibunya, tanpa airmata.
Bahkan ketika teman-temannya datang, mengucapkan rasa belasungkawa, mulai menyalamnya, ibunya, kakaknya, dan abangnya, ia tidak juga menangis.

Tiga bulan kemudian...
Ia masih saja melihat gadis itu dari salah satu tepi kelas. Terkadang tersenyum melihat tingkah konyolnya, tersenyum mendengar cerewetannya. Terkadang harus bingung ketika diajak bicara oleh gadis itu. Gadis itu memang sumber semangat. Tak sanggup ia sentuh, hanya ia nikmati saja. Satu tahun pertama mengenal gadis itu, ia mulai belajar melupakan gadis itu. Gadis itu sudah punya pilihan sendiri. Dan sepertinya ia bahagia sekali dengan pilihannya. Apalah dayanya dari sisi penikmat.
Ia mencoba membuka hati untuk gadis lain. Gadis yang mirip dengan gadis pujaannya pertama. Berambut ikal, berkacamata, tapi yang kali ini tidak benar-benar cerewet. Lebih tepatnya, cuek, tipe gadis yang ingin dikejar, ingin diperjuangkan, ia lakukan, dan akhirnya ia mendapatkan gadis itu. Satu bulan dua bulan tiga bulan, ternyata ia tak mampu membuat gadis itu benar-benar jatuh hati, gadis itu meninggalkannya. Kecewa? Ya, sedikit.

Dua tahun kemudian...
"Sudah, tidak perlu dibayar", katanya.
"Tapi aku ga enak loh. Atau, sebagai gantinya aku akan mentraktirmu saat istirahat besok, bagaimana?", tawar si gadis pujaan.
Ia sedang berhadapan langsung dengan gadis pujaannya dua tahun lalu itu, menyerahkan plastik berisi kue berbentuk bulat berisi coklat, titipan si gadis pujaan.
"Baiklah", ujarnya lagi.

Keesokan harinya...
"Ambil saja sesukamu, aku yang bayar", si gadis berkata pongah sambil tertawa.
Pria itu hanya tersenyum. Gadis itu lucu sekali, saat ia tertawa, sepertinya ia tidak benar-benar menjaga cara tertawanya. Lepas sekali sampai gusinya kelihatan, ditambah lagi dua gigi seri yang dimilikinya seperti gigi kelinci.
Ia mengambil gorengan dan langsung menghabiskan dua. Sebelum keluar dari kantin, ia mengambil tiga wafer sekaligus dan sebuah kopi dalam kemasan kotak.
"Berapa bu?", tanya sang gadis.
"Lima belas ribu, dek"
Sang gadis melirik kearah pria itu. Entah lirikan apa. Si pria hanya tersenyum sekilas sambil menunjuk wafer dan kopi digenggamannya.
"Haah... tidak apa-apa. Aku tadi hanya berpikir apa mungkin kau menghabiskan 15 gorengan. Ternyata...", si gadis mulai bicara saat mereka jalan bersama.
"Aku ingin menanyakan suatu hal padamu. Boleh?", lanjut gadis itu.
"Ya. Tentu saja."
"Kenapa kalian putus?"
Pria itu menghentikan langkahnya, "aku tak mampu membuatnya jatuh hati. Lagi pula dia bukan gadis pujaanku."
Sang gadis melihat ke ekor mata pria itu. "Memangnya gadis seperti apa pujaanmu itu?", mereka lanjut berjalan.
"Untuk apa kau mengetahuinya?"
"Entahlah. Aku hanya ingin tahu. Karena mungkin tanpa kau sadari banyak sekali gadis yang menyukaimu. Aku tidak tau apakah kau menyadari hal ini."
"Oya? Wah, aku baru mendengarnya darimu".
"Satu pertanyaan lagi", mereka sudah sampai di depan kelas gadis itu.
"Ada apa antara kau dan Tania?", kali ini gadis itu melihat langsung ke manik mata pria itu.
Diam sesaat.
Ia yang semula berdiri menghadap ke arah gadis pujaannya itu, langsung membalik arah, sekarang pandangannya menyapu luas lapangan kampus mereka yang berumput hijau. Wangi rumput yang baru dipotong merajalela masuk ke saluran pernafasan.
"Apa yang membuat aku yakin untuk menceritakannya padamu?"
"Entahlah, Tania bercerita sesuatu padaku. Aku hanya ingin mendengar versimu."
"Oh, dia sudah bercerita? Ya sudah, sepertinya itu lebih dari cukup. Kau tidak perlu mendengar apa-apa lagi dariku."
"Hhm... baiklah aku tidak akan memaksamu lagi."
"Apa kabar kau dan dia?", pria itu mengalihkan topik.
Si gadis berbalik arah, berdiri disamping pria itu dan menatap ke lapangan berumput hijau juga. "Kami? Ya begitu."
"Begitu bagaimana?", si pria bertanya dengan nada selidik.
"Apa yang membuat aku yakin untuk menceritakannya padamu?", gadis itu tersenyum licik.
"Hahaha...", si pria tertawa.
"Woow... baru kali ini aku mendengarmu tertawa."
"Kau tidak peduli pada sekitarmu", sahut si pria.
"Heeh... bukan begitu. Hanya saja kau terkenal karena pendiam. Ya kadang aku memang melihatmu tertawa, tapi tidak benar-benar mendengarnya, aku tadi baru saja memiliki kesempatan emas mendengarkannya secara langsung. Terimakasih", ujar si wanita sambil memeragakan seorang putri yang mengucapkan terimakasih, menundukkan kepala sambil memainkan kakinya seperti hendak jongkok.
Si pria tersenyum. "Mungkin aku tidak akan bercerita sekarang. Nanti saja, pasti ada waktu yang tepat untuk itu."
"Baiklah. Aku masuk kelas dulu", kata si gadis sambil berlalu dari pria itu.
"Terimakasih traktirannya", kata pria itu sambil mengangkat wafer yang belum dimakannya.
Si gadis hanya mengangkat jempolnya tanpa melihat pria itu lagi.

Satu bulan kemudian...
"Ia pernah sakit beberapa tahun yang lalu. Dokter memberikannya obat, dan ia sembuh. Tapi kami tidak mengetahui efek samping dari obat itu. Ternyata berefek pada jantungnya, padahal jantungnya sendiri memang lemah. Ia tidak tahan lagi dan memilih pergi. Kalau kau tanya mengapa aku tidak menangis, karena sepertinya ia sudah tau ia akan pergi. Ia sudah menitipkan banyak amanah padaku, aku hanya mencoba menjalankannya. Dan tidak menangis adalah salah satunya. Bagaimana bisa aku menguatkan ibuku jika aku juga terlihat lemah? Ibu butuh penopang dan aku harus menggantikan posisi dia karena dia sudah pergi", gadis itu hanya diam ketika akhirnya di suatu sore pria itu bercerita tentang penyebab kepergian ayahnya.
"Hhm... tapi pasti sedih sekali, bukan? Apalagi untuk seorang perempuan, ayah itu adalah cinta pertamanya. Bagaimana rasanya jika cinta pertama pergi untuk selamanya. Haah... belum terbayangkan olehku. Tapi kau terlihat kuat."
"Ya, 'terlihat' dan memang harus seperti itu. Aku hanya tidak tau akan seperti apa kedepannya"
"Kenapa?", si gadis penasaran.
"Jika aku sudah tamat kuliah, bagaimana bisa aku meninggalkan ibuku sendiri dirumah? Jika akhirnya aku diterima bekerja di luar kota, siapa yang akan menemani ibuku?", si gadis hanya diam mendengarkan.
Tidak ada pembicaraan lanjut setelah itu. Diam, senyap. Mereka biarkan angin sore bersemilir melewati rambut yang kadang menggelitik. Hampir tertidur karena kantuk yang meraja bersama angin.
"Hoam...aku mengantuk. Angin sore ini gila. Mau mendengarkan sebuah lagu bersamaku?", tawar sang gadis sambil mengulurkan satu bagian earphone pada pria itu.
...
Hai hai apa kabar kawan 
Siapkah kau untuk melangkahi masalahmu hadapi esok pagi
Hai hai apa kabar kawan
Siapkah kau untuk melangkah kemasa depan menantikan pelangi

Percayalah kawan esok kan berbeda
pasti kan engkau mencoba
Buat mimpimu jadi nyata oh nyata
Kita semua pasti bisa asalkan kita melangkah
Sambut hari yang indah

Marilah kita mensyukuri semua berkat dalam hidup ini
Kita bahagia kita bahagia
Bersama hangatnya mentari nikmati dan lukiskan memori
Kita bahagia kita bahagia

Suatu Minggu...
"Hai, selamat pagi. Selamat hari minggu", satu pesan singkat masuk ke ponsel sang gadis.
"Selamat hari minggu juga", balasnya singkat.
"Aku mau cerita sesuatu, nanti sore ada waktu?", bunyi nada pesan masuk.
"Oke. Bertemu di taman kota saja", balas sang gadis lagi.
Dan sore itu mereka bertemu, bercerita tentang, Tania. Sang gadis hanya diam dan kadang tersenyum mendengarkan cerita pria itu.
"Jadi bagaimana perasaanmu sekarang?", tanya sang gadis.
"Pada Tania? Entahlah, aku sudah memaafkannya tapi belum bisa melupakan semuanya."
"Kapan rencananya berbicara padanya?"
"Haah? Bicara? Untuk apa?", nada suara tidak suka sontak membuat sang gadis terkejut.
"Bukan bukan. Bukan membicarakan sesuatu tentang kalian. Berbicara ya selayaknya teman. Itu saja", jelas sang gadis pelan.
"Aku belum pernah memikirkannya, tidak punya rencana juga", jawab pria itu asal.
"Hey...", sang gadis menepuk satu pundak si pria itu, "kau harus memulainya. Cobalah, dia juga sudah menganggap semuanya selesai dan semua akan baik-baik saja."
"Jangan paksa aku", si pria memalingkan wajahnya ke arah yang lain.
"Maaf... Hhm... Ayo makan malam", sang gadis mencoba mencairkan suasana.
Pria itu langsung beranjak dan berkata ayo, mereka berjalan dalam diam.

Beberapa hari kemudian...
"Surat cintamu kau berikan pada siapa?", si gadis bertanya.
"Satu untuk mantanku itu dan satu lagi seharusnya padamu, tapi aku tidak memasukkannya ke kotak surat cinta, takut priamu marah", jawab si pria jujur. "Kalau aku tau kau adalah si penjaga kotak surat, mungkin aku akan berani memasukkan surat cinta itu", lanjutnya lagi.
Si gadis itu hanya diam. Dia sebenarnya sadar bahwa pria itu memiliki perasaan lebih padanya. Namun selama ini ia menghindari pembicaraan ke arah itu karena toh dia juga sudah mempunyai seseorang dan dia juga tidak mempunyai perasaan apa-apa pada si pria itu, hanya nyaman bercerita dengannya.
"Tania?"
"Haah?"
"Ya, aku pikir kau memberikan suratmu pada Tania"
"Tidak"
"Kita sudah mau lulus, masih tidak ada perkembangan?"
"Sudah kukatakan aku tak ingin membahas tentangnya. Aku sudah memaafkannya tapi ya aku rasa lebih baik tidak mengenalnya, itu saja", jelas si pria lagi.
"Baiklah. Aku tidak akan membahasnya lagi denganmu. Aku janji. Hhm... bagaimana jika aku mau membaca surat cintamu yang seharusnya kau berikan padaku? Kau bisa memberikannya langsung padaku"
"Tapi kau juga harus menuliskan sesuatu untukku. Dalam bentuk surat, jadi kita bisa saling bertukar surat. Tenang saja, tidak harus surat cinta", si pria tersenyum.
Sang gadis hanya mengangguk, tersenyum kemudian berlalu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan