Sekar dan Polisi yang Ditolak Pinangannya

Namanya Sekar. Ah ya, nama Indonesia sekali bukan?
Artinya Bunga, dari bahasa Jawa.
Beberapa bulan lalu ia dipinang oleh seorang polisi, tapi ia menolak.

"Kenapa?", tanya teman sepermainannya.
"Dia belum siap menikah", jawab Sekar.
"Bagaimana kau tau?", temannya penasaran.
"Jam tangannya masih di kredit", Sekar masih sibuk dengan kain strimin dan sulaman bunga di tangannya.
"Hanya karena itu?", masih dengan wajah penasaran.
"Katanya dia ingin punya mobil, tapi masih punya utang dimana-mana", lanjut Sekar.
"Kemarin dia meminjam uang padaku, tak kuberikan, ini bukan kali pertama dia meminjamiku", Sekar mulai bercerita panjang lebar.
Ah, kesempatan baik menggali informasi, kata temannya dalam hati.
"Lalu?", lanjut temannya. Ia tahu bahwa ketika Sekar sedang fokus pada sesuatu dan ditanyai hal lain, dia pasti akan menceritakan semuanya, tidak ditutup-tutupi.
"Katanya dia sudah punya rumah. Ternyata hanya warisan dari neneknya. Aku jadi berpikir, bisa saja suatu saat dia akan menggadaikan rumah itu untuk membayar utang-utangnya. Siapa yang tahu?"
"Hush, jangan bicara begitu. Tidak baik, Sekar"

"Kau tau bagaimana kehidupan pertemanan para polisi itu? Mereka suka pamer dan tidak mau kalah dengan temannya yang lain. Waktu dia memamerkan jamnya padaku, aku tau dia ingin sekali ditanyai harganya."
"Lalu apa kau bertanya?", potong temannya.
"Tentu saja. Dua juta katanya. Aku hanya mendengus lalu mengatakan wah, hebat sekali kau bisa membeli jam semahal itu tapi masih punya utang dimana-mana. Bukannya lebih baik jika kau membayar utangmu dulu dengan itu? Dan kau tau dia menjawab apa?"
Temannya hanya menaikkan alis pertanda bertanya.
"Temanku saja bisa beli, aku juga harus bisa. Lagi pula jam itu ku kredit. Kau tau, mereka memberi bonus satu strap jika aku membeli model ini, sambil memegangi jam itu dia menjelaskan padaku, lalu dia melanjut lagi, urusan utang, kau tak perlu khawatir, jika kau tak bisa meminjamiku, aku bisa meminjamnya pada orang lain", Sekar sudah menyelesaikan sulaman bagian batang bunga.

"Dia ikut judi online. Sekali menang, berkali-kali kalah. Klise sekali. Kau tau kan cara kerja judi online itu?", kali ini Sekar menaikkan bola mata ke arah temannya. Temannya memegang mangkuk berisi sup buah, mengangguk sambil menyuap sup buah ke mulutnya sendiri.
"Dia tidak akan pernah menang lagi", kata temannya sambil mengangguk.
"Tepat sekali. Aku tidak siap menikah dengan laki-laki semacam itu. Kau tau kan aku pernah mengajarinya bagaimana cara menabung? Dia malah menghabiskan tabungannya, terakhir ku dengar ada orang yang mencarinya hanya karena ingin hutangnya dilunasi"
"Aku baru tau ada polisi semacam itu", kata temannya, masih dengan sup buahnya, tinggal setengah.
"Heeh, jangan men-generalisasi. Tidak semua seperti itu. Hanya saja yang meminangku adalah seorang polisi yang seperti itu", Sekar mulai membuka pikiran positifnya.

"Untung saja kau tak menikah dengannya", temannya mengganti posisi duduk, menaikkan kaki ke meja di depan sofa yang diduduki.
"Akan ada wanita beruntung yang menikahinya. Aku yakin. Sebenarnya dia punya mimpi-mimpi besar, hanya saja tidak punya kesempatan", kata-kata bijak meluncur lagi dari mulut Sekar.

Oh, Sekar.
Wanita jawa beradab. Tidak melulu memikirkan bagaimana senggama, dinafkahi dan menghabiskan hari di dapur dan mengurus anak. Tidak melulu memikirkan berkeluarga lalu berkumpul bersama para ibu muda, bergunjing dan mengandalkan suami semata.

Sekar hanya tamat Sekolah Menengah Atas. Orang tuanya miskin, tidak sanggup menyekolahkan ke perguruan tinggi. Sekar juga enggan, tau diri katanya.
Kini punya galeri seni sendiri. Berisi hasil sulaman tangannya. Terkadang ikut seminar dan pameran seni di kota tempat tinggalnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan