Pertemuan Terakhir?

Aku benci bandara, sungguh !
Sangat benci tempat bernama "keberangkatan" disana.

Disana aku menemukan satu luka yang luar biasa.
Yang bahkan sampai detik ini, jika aku mengingatnya, itu seperti menusukku berkali-kali dan berulang-ulang.
Aku tak bisa menahan kelenjar air mataku memproduksi air berlebihan, tak bisa !

Aku benci bunyi nada sambung dari telepon genggamku di "keberangkatan" itu.
Aku benci menekan tombol hijau dan mulai berbicara.
Aku tak mampu menahan suara sesenggukan yang kuhasilkan sendiri.
Bahkan semakin cepat ketika suara dari seberang telepon mengatakan,
"Coba lihat keatas, udah jangan nangis, kita sama-sama jalan ya, tapi sampe ujung aku ga bisa liat kamu lagi".
Aku benci mengatakan berhenti pada airmata ini dan ia menolak, ia terus mengucur tak berujung. Ah, malu sekali waktu itu.

Lalu aku naik ke beranda bandara tempat aku melihat sebuah pesawat berwarna putih merah. Pesawat di baris ke tiga waktu itu. Bus mengantar penumpang dan salah satu penumpangnya adalah ia yang diseberang telepon tadi.

Telepon berbunyi lagi. Airmataku sudah kering.
"Kau lihat aku? Aku melambaikan tanganku", ada seseorang berkaos putih melambaikan tangan, hampir tak terlihat.
"Kau tidak malu?"
"Tidak, tadi orang-orang bertanya, lalu kubilang pacarku ada di sana, sambil menunjuk kearahmu. Aku mau jadi orang terakhir yang masuk pesawat, agar kau bisa melihatku lebih lama."
Akhirnya air mata lagi berulah, "aku rindu. Jangan pergi. Disini saja."
"Aku pasti akan kembali. Sabar ya", kata-kata sebelum langkah terakhir kaki memasuki pesawat itu.

Ternyata itu memang pertemuan terakhir. Tidak akan ada sabar yang berbuah manis setelahnya.
Sisanya hanya kenangan.
Dan tangisan di setiap penghujung malam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan