Cerita di ibukota


  1. Aduh, aku alergi makanan laut.
  2. Eh, kalau Dior VS Aigner bagus yang mana ya?
  3. Btw, kemarin Gigi Hadid keluarin produk lipstik yang baru loh. Mau coba ga?
  4. Kalau aku sih kulitnya sensitif, ga bisa pakai lotion sembarangan.
  5. Mau sih, tapi penginapannya mahal gak? Kesana naik apa? Total biaya berapa?
  6. Besok kodangan si Ani nih, mau pake baju apa ya? Aduh, kayaknya uda ga ada baju deh. Beli baru aja ah, pasti bisa dipake kondangan berikutnya (dan kalimat ini terus berulang pada kondangan berikutnya)
  7. Hunting sneakers yuk, lagi banyak keluar model terbaru tuh. 1.5jutaan aja


Beberapa kalimat diatas akhirnya mengisi hari-hariku setelah hidup di ibukota. Sampai masa kuliah berakhir, sedikit sekali jeritan seperti kalimat diatas terdengar di telingaku, maklum kuliahku bukan di kota besar.
Setelah sering mendengar kalimat-kalimat seperti itu aku bersyukur terlahir seperti ini.

  • Ga punya alergi makanan. Kayaknya makan apa pun dimana pun oke, syaratnya cuma dua, makanannya bersih (ga ada lalat, tikut, kecoa) dan ga kadaluarsa. Bro, ga akan ada orang yang baik-baik aja dengan makanan ber-lalat/tikus/kecoa dan kadularsa.
  • Ga peduli brand barangnya, kalau suka bentuknya dan cocok buat dipake ya beli. Ups, liat harganya juga, kalo mahal, jangan ih, sayang duitnya.
  • Ga ngerti merk-merk bagus, apalagi soal lipstik. Kalau bukan untuk acara penting dan formal rasanya lipstik bukan menjadi bagian wajib dari riasan wajah. Kasian bibirnya, ditempelin bahan-bahan kimia begitu.
  • Nah, kalau lotion, sampe sekarang oke oke aja pake apa pun. Terimakasih kulit
  • Untuk sanggahan pada poin ke-5, eee... kalau tempatnya masuk ke wish list, kayaknya ga akan ada pertanyaan kayak gitu, gas aja, cari yang paling murah. Hihihi...
  • Sometimes pikiran untuk beli baju ada, dan terhenti ketika melihat lemari sudah penuh dan pikiran bahwa beli baju baru itu ga penting lebih besar daripada harus punya baju baru lagi dan lagi
  • Ajaaa??? Holy moly ! I have no time for 1.5jutaan aja itu. Kalo aku biasa beli sepatu harga 35ribu, dibandingkan 1.5juta uda dapat berapa sepatu tuh?
Karena pekerjaan yang sedang kutekuni sekarang tak mewajibkan riasan wajah menarik, akhirnya aku bak upik abu jika dibandingkan dengan bidang pekerjaan lain di kantor. Dan karena rasa bodo amat lebih besar, jadilah sandal gunung adalah hal aneh di dalam lift di bandingkan semua heels, wedges dan flat shoes. Kadang sampe nanya ke diri sendiri, "ini kaki siapa sih yang pake sandal gunung? Merusak aja."

Bersyukur lagi karena aku bukan tipe orang yang suka ngiler.
Iphone baru keluar lagi nih. Ooh..
Weew... Ada PO Samsung Galaxy S9 loh. Ooh..
Kayaknya punya kamera mirrorless keren deh, bisa hunting tempat yang instagrammable gitu. Yayaya...
Eh, wid, punya CC ga? Engga. Bikin dong. Buat apa? Supaya bisa beli-beli apa gitu, tinggal gesek. Ga butuh. Suatu saat pasti butuh. Nah, yaudah bikinnya pas butuh aja. Kalau punya CC bikin KPR rumah gampang loh (cukup bikin ngiler). Ah, ntar aja pas uda ada suami (dan yang ngajak ngobrol jadi kesel)

Setelah bekerja hampir tiga tahun hidup di ibukota, aku merasakan berbagai kesialan (dan rata-rata disebabkan oleh keteledoranku), beberapa teman memberikan pertanyaan yang sama,

"Wid, ga mau ganti hp?" atau
"Wid, kalau punya uang lebih, beli hp baru dong" atau
"Wid, masa gaji segitu hp masih gitu-gitu doang" atau
"Wid, uda bisa la upgrade hp dengan memori + RAM yang lebih besar"

Jawabanku, "Engga ah, hp nya kan belum rusak. Memorinya masih cukup kok."
Bahkan sebenarnya si penanya tak tau gajiku berapa dan fyi aku sudah menghilangkan tiga hp selama tinggal di ibukota ini, ya karena keteledoranku. Jadi jangan pernah membayangkan aku akan membeli barang-barang mahal.

Lagi, kemarin beberapa teman membicarakan reward yang ingin diberikan pada diri sendiri. Ada yang memberikan reward beli hp baru atau jalan-jalan ke suatu tempat atau makan di tempat mewah.
Kemudian aku menarik semuanya ke diri sendiri, setiap ada keberhasilan yang kucapai, aku tak pernah memberikan penghargaan pribadi. Maksudku ucapan "woow" dan tepuk tangan untuk diri sendiri rasanya sudah cukup.
Mungkin karena hal ini tidak dibiasakan sedari kecil oleh keluargaku. Aku dan adik-adikku juara puisi, tulis cerpen, nyanyi, vocal group tingkat provinsi, penari mewakili provinsi SUMUT, keluargaku hanya mengucapkan selamat.
Kami dapat ranking di sekolah lalu merayakannya dengan makan malam diluar adalah perayaan paling mewah yang pernah kurasakan.
Kami bahkan tak pernah diberi hadiah spesial dalam setiap pencapaian kami. Mungkin karena hal itu sudah dibiasakan sejak kecil, aku dan adik-adikku tak pernah cemburu jika melihat teman lain diperlakukan jauh lebih spesial di keluarganya.
Kata ayahku, "cukup bersyukur dan berdoa". Aku setuju.

Ah, apa lagi yang harus kusyukuri dengan kehidupan ibu kota ini?
Banyak sekali !
Kamu punya cerita apa di ibukota?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan