Aku juga tidak mau lahir menjadi seseorang yang terlalu perasa. Setiap memori yang entah baik atau tidak kadang muncul tidak terduga. Seperti saat ini, memori tentang bapak yang sudah tidak sadarkan diri di ruang ICU, dua hari sebelum meninggal, hari Minggu, aku membacakan bacaan injil hari itu. Setelah itu, aku berbisik ke telinga bapak, "Pak, kalau capek, gapapa kok udahan. Aku, mama dan adek-adek bakal baik-baik aja. Tapi kalau masih mau berjuang, yok pak, pasti bisa, kami juga pasti bisa ngusahain dari sini."
Lalu bapak mengeluarkan airmata. Tangisku pecah dalam diam. Sebisa mungkin aku tak mau dia tau aku menangis. Tau kan rasanya ingin menangis kencang sekali tapi harus ditahan? Iya, sakit sekali. Tapi suaraku bergetar mengatakan aku sayang padanya, aku tau kalau dia tau aku menangis. Aku pamit sebentar kembali ke Jakarta. Kubilang aku akan datang lagi menjenguknya. Tapi dua hari kemudian Bapak memutuskan menyerah. Oh, atau mungkin memang waktunya sudah tiba.

Bayangkan saja aku harus mengingat memori itu disaat aku sedang bekerja di kantor. Oh, airmata tentu saja tak bisa kubendung. Mengetik ini saja aku sambil menangis.

Tapi rasanya menjadi melegakan. Mungkin airmata yang jatuh saat ini lebih ke rasa rindu pada bapak. Sudah lama aku berusaha menghindari perasaan ini. Bahkan aku berusaha menghindar dari ingatan tentang bapak. Karena pasti berakhir begini, menangis. Ada dibeberapa waktu dimana aku ingat bapak tapi sedang tidak ingin menangis. Lalu kutepis ingatan tentang bapak itu, terlihat kejam memang.

Aku selalu bilang tak ada yang kusesali tentang kepergian bapak. Paling tidak, sebelum bapak pergi, aku sempat berbagi kebahagiaan dengannya. Jalan-jalan di Jakarta, mencoba panahan dengan kostum Harry Potter, berdansa di taman bermain, menginap di penginapan yang lumayan bagus dengan sarapan all you can eat, nongkrong di kafe bagus dengan menu pizza, oh, membelikan mobil dan merenovasi rumah juga bagian dari membahagiakannya dan mama.

Sudah kuikhlaskan kepergiannya sejak nafas terakhirnya.
Tapi ternyata perjalanan hidup di dunia tidak serta merta berakhir setelah bapak tidak ada. Hidup harus terus berjalan. Yang aku tidak siap adalah ada beberapa hal yang ternyata tidak bisa kudiskusikan dengan mama, keluarga atau bahkan teman-teman, hanya dengan bapak saja.

Jika sampai pada keadaan itu, aku cuma bisa bergumam, "Coba kalau ada bapak", berulang-ulang.
Aku tau dan sadar, pun jika ada bapak dan aku bisa berbagi cerita, tidak serta merta bapak bisa menyelesaikan segala topik diskusi yang kusampaikan. Tapi paling tidak aku tau aku akan dapat pandangan lain yang kubutuhkan. Tapi sekarang tak bisa lagi. Bahkan mengkhayalkan bapak akan jawab apa, pun aku tidak tau.

Akan kunikmati perasaan ini. Aku tidak tau aku akan punya hal yang akan terus bisa kutangisi sampai akhir hayatku. Kerinduan pada bapak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini