Aku benci kehilangan !

Aku benci kehilangan !
Hari ini random aku mengetahui orang tua dari salah satu kakak seniorku meninggal.
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku mendengar kabar duka.
Hanya saja akhir-akhir ini aku terlalu sensitif perkara kehilangan.
Aku menangis. Walau aku tidak kenal dan tidak pernah bertemu kakak itu. Aku hanya tau dia dan mengetahui kabar itu dari media sosial.
Bukan aku yang kehilangan, tapi aku benci kehilangan !

Kemarin aku menghabiskan malam bersama seorang kakak senior yang lain.
Kami sebenarnya saling ingin bercerita sejak lama, tapi tidak menemukan waktu yang tepat, sampai malam kemarin.
Dia baru kehilangan. Kehilangan setengah hatinya.
Dimana setengah hatinya yang lain sudah hilang juga, sejak lama.

Disaat ia bercerita, aku benar-benar sedih, tapi aku tidak bisa menangis. Aku tersenyum. Bukan berarti aku tidak merasakan kehilangannya. Aku bukan orang yang pandai berekspresi di saat-saat seperti itu.
Iya, benar, kehilangan yang ia alami, belum pernah kualami, tapi paling tidak aku tau.
Aku pernah kehilangan.
Aku marah pada Tuhan, sama seperti apa yang ia rasakan sekarang.
Dia mencari dan mengusahakan segala cara agar tidak sendiri, sama seperti yang pernah kulakukan.
Kami sama-sama merasakan fase itu. Fase dimana kami benci kesendirian, kami benci kesepian, kami benci waktu luang, kami tidak suka ke-lengang-an.
Semua karena kami kehilangan !

Dia mencoba memahami apa yang kusampaikan.
Aku mencoba menjadi pendengar yang baik untuk ceritanya. Beberapa kalimatnya sebenarnya mengorek luka lamaku. Tapi tidak apa.
Kadang luka juga harus disiram alkohol dulu sebelum dibersihkan untuk sembuh.
Mungkin itu yang kemarin ia lakukan terhadapku.
Satu hal yang kuyakini dan kurasakan adalah, aku merasakan satu lagi kelegaan yang tidak kurasakan sebelumnya. Dan rasanya sudah cukup.
Kemarin aku sudah sempat berhasil mengobati sendiri lukaku. Setelah ia mengoreknya lagi kemarin, aku harus mengulang prosesnya.
Menyembuhkan luka hati. Ah, melow sekali.
Tapi untuk kali ini prosesnya pasti lebih cepat.

Perbedaan aku dan dia adalah...
Dia masih terperangkap dengan kemarahannya pada Tuhan, aku tidak.
Aku sudah lebih pasrah, sementara dia belum sanggup melakukannya.

Lagi, aku dan dia, punya pertanyaan yang sama,
Kenapa harus aku? Kenapa harus kami?

Ah, aku ingat satu kalimat yang ia lontarkan,
Aku tidak tahu apakah aku sanggup menjalaninya jika aku yang mengalami hal yang kau alami itu.
Aku tersenyum lalu kubalas.
Aku lebih tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan versimu kak, karena aku belum mengalaminya. Aku yakin mereka yang mengalami kehilangan sepertimu adalah orang-orang kuat yang terpilih.
Dia hanya tertawa

Kami akhiri percakapan malam itu dengan saling menguatkan
Ini hanya butuh waktu dan proses
Semua sudah ada jalannya masing-masing

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan