Di suatu minggu yang sedih

Aku melihat ke belakang, mulai menyusuri tiap baris kursi yang sudah mulai penuh. Belum juga kutemukan. "Huuh...", aku melengos kecewa. Kuputar lagi badanku menghadap altar yang sudah mulai diisi oleh putra altar disusul para prodiakon dan pastor.
Kesadaranku kembali saat teman-teman disampingku mulai berdiri, dan membuka buku lagu. Aku mengikutinya dengan cepat. Lagu pembuka untuk memulai misa.
Duduk disayap kanan gereja ini sebenarnya tidak menguntungkanku. Aku tidak bisa melihat sekeliling gereja dengan leluasa. Hari ini memang giliran paduan suaraku yang memimpin koor di misa sore. Otomatis aku memang harus terima untuk duduk dibagian depan.
Bacaan pertama dan kedua kurang kusimak dengan baik. Sesekali aku mencuri pandang ke arah belakang. Gedung gereja sudah penuh dan yang kucari tidak juga kutemukan. Beberapa umat yang duduk didekatku sepertinya sudah mulai terganggu atas sikapku. Aku menyerah untuk mencari saat Aleluia dinyanyikan dan pastor mulai membaca Injil.
Akhirnya aku lepas dari pikiran untuk mencari, sesaat pastor selesai membaca Injil dan memulai khotbahnya. Aku tersentuh sekali saat ia bercerita bagaimana cara seorang wanita berdosa menyambut Tuhan, jika dibandingkan dengan bagaimana orang Farisi menyambut Tuhan. Aku semakin sadar bahwa aku termasuk kategori wanita yang berdosa itu dan bahkan jauh lebih berdosa.
Saat misa berlanjut, aku memiliki pengharapan yang besar sekali pada Tuhan, agar aku dapat bertemu dengannya. Paling tidak aku benar-benar melihat sosoknya ada didalam gereja dan menghampiriku. Aku membawanya pada doa pribadiku saat doa permohonan.
Lagu dari Puji Syukur nomor 695 mengakhiri misa. Dan didalam doa penutup yang kuhaturkan, masih terselip namanya, nama dari orang yang kukasihi dan sangat ingin kutemui. Aku menunggu dan menunggu sambil melihat. Satu per satu umat meninggalkan gereja. Tidak kulihat juga sosoknya. Aku benar-benar kecewa.
Aku berpindah posisi, kudekati patung bunda Maria disebelah kiri altar. Masih banyak umat yang berdoa. Aku bergeser agak ke belakang. Di kursi yang sudah kosong itu aku berdoa, dan mulai menangis. Menangis dan tidak berhenti. Ini entah sudah menjadi airmata ke berapa di hari ini, tapi tetap saja tidak habis.
Entah harus bagaimana agar aku bisa bertemu, berbicara dan mengungkapkan semuanya. Sedih sekali rasanya. Doa kuakhiri dengan memohon penguatan hati dari Tuhan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Kehilangan