Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025
Hahahaha... Masih seputar rindu sama bapak, boleh ya? Barusan liat ig story teman yang lagi jalan-jalan ke luar negeri. Terus jadi teringat sama kejadian tiga tahun lalu. Waktu keliling Europe waktu itu, ada satu waktu dimana aku video call bapak, dijalanan Salzburg menuju Hallstatt, Austria, waktu itu. Aku benar-benar jatuh cinta dengan negara itu. Sepi dan cantik sekali. Aku video call bapak dan pamer padanya, "Bagus kali pak negaranya", kataku. Tahun berikutnya setelah bapak meninggal, aku ke China dan Jepang. Momen "coba kalo ada bapak" terlintas. "Ah, coba kalo bapak masih ada, dia pasti akan senang sekali ku video call dan kutunjukkan betapa megahnya Tembok China, gimana anaknya hebat banget naik cableway dan toboggan, tawanya pasti renyah, senyum bangganya pasti manis sekali", gumamku berulang-ulang. Tak ada lagi lelaki dewasa yang bisa kuajak berdebat dan selalu membiarkan aku menang walau aku belum tentu benar. Hanya akan menanggapiku dengan senyu...
Setelah menerima hosti pada hari Minggu kemarin, aku berdoa lebih lama dari biasanya. Tidak kurencanakan. Aku mendoakan banyak hal. Lalu aku sedikit terhenyak dengan doaku sendiri. Aku menangis. Aku menangis mengingat kini ada seseorang yang entah bagaimana dikirimkan Tuhan menemani hari-hariku. Berbagi cerita dan cinta yang entah bagaimana bisa ada. Aku menangis mengingat bagaimana beberapa kali aku mengecewakannya bahkan diawal cerita kami bersama. Aku menangis mengingat bagaimana dia mau dan bisa bertahan, padahal mungkin aku bukan satu-satunya yang menjadi pilihannya. Aku tidak tau bagaimana itu bisa terjadi. Aku bahkan tidak tau mengapa kami pada akhirnya punya cerita bersama seperti sekarang. Aku pasti punya harapan besar tentang ini. Lalu aku menyadari bahwa Dia punya rencana atasku dan dia. Sebaik-baiknya rencana manusia pun akan mutlak takluk pada rencana Tuhan Sang Maha Membolak-balikkan. Inginku hanya satu, dikuatkanNya untuk setiap hal yang sudah ditakdirkannya padaku. Pun ...
Aku juga tidak mau lahir menjadi seseorang yang terlalu perasa. Setiap memori yang entah baik atau tidak kadang muncul tidak terduga. Seperti saat ini, memori tentang bapak yang sudah tidak sadarkan diri di ruang ICU, dua hari sebelum meninggal, hari Minggu, aku membacakan bacaan injil hari itu. Setelah itu, aku berbisik ke telinga bapak, "Pak, kalau capek, gapapa kok udahan. Aku, mama dan adek-adek bakal baik-baik aja. Tapi kalau masih mau berjuang, yok pak, pasti bisa, kami juga pasti bisa ngusahain dari sini." Lalu bapak mengeluarkan airmata. Tangisku pecah dalam diam. Sebisa mungkin aku tak mau dia tau aku menangis. Tau kan rasanya ingin menangis kencang sekali tapi harus ditahan? Iya, sakit sekali. Tapi suaraku bergetar mengatakan aku sayang padanya, aku tau kalau dia tau aku menangis. Aku pamit sebentar kembali ke Jakarta. Kubilang aku akan datang lagi menjenguknya. Tapi dua hari kemudian Bapak memutuskan menyerah. Oh, atau mungkin memang waktunya sudah tiba. Bayangkan ...
Aku sedang berpacu dengan pikiranku sendiri. Mengurutkan hal penting mana yang harus kupikirkan lebih dulu. Apakah tentang kalung berlian yang muncul diiklan instagramku atau ketidakrelaanku meninggalkan pekerjaanku sekarang. Apakah tentang pria baik yang sedang muncul dihidupku ini, tentang dia akan bertahan atau pergi, tentang dia adalah jodoh atau pembelajaran atau tentang masak apa aku besok pagi. Atau tentang lagu konser yang tadi dilatih atau model cincin cantik buatan titian fyne. Iya, jika aku sendiri saja sudah kalut dengan pikiranku yang tak teratur Bagaimana aku berbagi dan menceritakan pada orang lain? Aneh sekali Setiap aku menutup mata hendak mengurutkannya satu-satu, aku berhenti karena rasanya rangkaian huruf pembentuk kata itu berkejaran dalam kepalaku. Tapi tidak memikirkan apa pun membuatku mengantuk. Padahal aku sedang belajar tentang sepi Tentang aku sendiri yang terasa bising Tentang diam yang merasuk raga Tentang tak bersuara agar aku mengerti isi kepala Tidak be...
Oh akhirnya aku mengerti bahwa aku harus mengurus hatiku sendiri. Ternyata benar, perkara hatiku adalah tanggung jawabku sendiri. Setelah kemarin semua kegundahanku dan kekecewaanku kubagikan dengan beberapa teman, aku merasa puas dan didukung. Tentu saja, mereka adalah temanku. Aku selalu bilang pada mereka bahwa dibalik semua penyebab perpisahan kami, dia tetap pribadi yang sangat baik. Kami pernah mengukir banyak cerita baik, manis nan hangat. Dahulu, sesekali aku juga bercerita tentang kebaikannya pada teman-temanku. Bagaimana aku bangga pada pencapaiannya dan perjuangannya. Lalu setelah semua berubah dan aku memutuskan berpisah, terkesan mereka jadi membencinya. Lalu sekarang dalam proses pemulihan hatiku, aku mengorek kenangan-kenangan baik yang dulu membuat aku tersenyum dan merasa dibahagiakan olehnya. Ternyata aku pernah ada dimasa itu. Masa dimana aku dimanjakan dan didengarkan. Masa dimana kami merencanakan masa depan. Masa dimana kami berbagi keluh kesah. Masa dimana aku me...
Aku pernah menolak pelukan darimu saat aku menangis keras, entah karena apa waktu itu, aku lupa. Pernah ketika kau kutolak, kau tidak melanjutkan usahamu untuk memelukku. Pernah juga ketika kutolak, kau memaksa untuk memelukku. Seingatku aku melawan bukan karena aku tidak butuh pelukan. Tapi karena aku telalu malu menunjukkan aku lemah dan butuh sandaran. Aku menolak karena aku merasa aku bisa melewatinya tanpa siapa pun. Aku menolak karena aku tidak terbiasa ditolong disaat sedih. Aku bingung harus bersikap bagaimana dikondisi itu. Sekarang, aku melepaskan "kita" karena aku sendiri. Aku merasa "kita" sudah sampai garis akhir. Garis akhir yang memaksa kita untuk melangkah dengan jalur yang berbeda. Aku dengan keinginanku untuk bebas, kau dengan inginmu bertahan namun tak kupedulikan. Kemarin kau terlintas dalam benakku. Aku selalu memikirkan ini ketika aku berpisah dengan mereka yang ada di masa laluku. Tapi aku menyadari aku tidak memikirkan ini setelah berpisah da...
Sepertinya sampah-sampah dalam pikiran sudah dibuang ke tulisan-tulisan disini. Terutama sampah overthinking yang kebanyakan ga kejadian sama sekali. Sekarang malah lebih tenang pas uda ambil satu keputusan. Yang awalnya juga mikir keputusan itu mungkin bukan yang terbaik, toh sementara ini, setelah dijalani, rasanya itu yang terbaik. Rasa was-was ada abnget. Apalagi harus mengikuti pikiran orang nekat yang ga benar-benar bersih pikirannya. Semoga ga ada hal buruk yang terjadi. Karena rasanya sudah lelah harus menghadapi drama tak kunjung usai ini