Postingan

Aku ga nyangka panggilan telepon dari namamu jadi hal paling menakutkan Aku ga nyangka kau jadi orang asing setelah banyak hal baik yang pernah terjadi diantara kita Aku ga nyangka aku harus merasa lelah bahkan hanya karena aku memikirkan tentangmu Harusnya semua ini tak perlu terjadi Harusnya kita, pun tak jadi kita, tetap bisa menjadi teman baik Tapi ternyata aku tidak baik-baik saja Bayangan tentang harus berbicara denganmu saja membuat aku mual Sungguh! Rasanya aku stress untuk hal yang tidak perlu Rasanya aku kecewa untuk hal yang entah kenapa harus berakhir begini Bolehkah kau mengerti arti kata cukup? Semua pertanyaan dalam kepalamu, biar saja lebur oleh waktu Aku pun tentu butuh waktu, mungkin lebih panjang dari patah hati terburukku waktu itu Tapi hidupku harus terus berjalan, kan? Dan kau tidak lagi ada didaftar masa depanku Aku tidak mau lagi

Mari bicara tentang grieving

Mari bicara tentang grieving Kemarin aku bertemu dengan seorang teman. Beberapa kali dia sudah mengingatkan aku dengan proses ini. Hal yang menurutku berjalan mengikuti arus hidup saja. Lalu aku berkata, "Iya sih, kadang tuh masih kepikiran. Ih iya ya, kok bisa ya? Kok tega ya? Setelah semua yang terjadi selama ini loh" Lalu kulanjutkan, "Tapi ya emang takdirnya begini kali ya" Dia menjawab, "Nah, ini yang kumaksud dengan grieving . Itu tuh bukan proses dimana kamu mau menerima semua kesalahan dia dan bahkan mungkin mau kembali memulai hubungan baik lagi. Bukan. Itu tuh proses dimana kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri. Proses dimana kamu ga lagi marah, kecewa, tersinggung, sakit hati. Proses dimana kamu ga lagi menyesali apa yang sudah terjadi. Pasti butuh waktu. Makanya itu, kasih dirimu ruang untuk menerima dan memproses hal ini. Ga harus cepat-cepat kok. Takutnya, kalau kamu ga selesai dengan grieving -mu, itu akan ber- impact ke hal lain setelahnya. ...
Sepanjang hari ini bisaku hanya tersenyum, sesekali tertawa kecil. Bagaimana bisa Tuhan menjawab doaku dengan cara seperti ini? Bertahun aku berdoa dengan isi yang sama. Doa yang kadang aku bahkan bingung harus mengimaninya seperti apa. Doa yang kadang kuucapkan tapi kosong yang kurasakan. Kadang doanya sangat khusyuk, terkesan memerintah malah. Tapi semakin lama isi doa yang sama itu rasanya lebih ke berserah. Langkah besar untuk keputusan yang kuambil membuat aku bingung sendiri, takut, sedih, rasanya seperti orang jahat. Berulang kali memberi afirmasi positif untuk diri sendiri bahwa mungkin ini adalah waktunya, sudah saatnya. Semua akan baik-baik saja. Aku merasa aku pasti bisa. Sesekali aku menangis, menghentikan perkelahian antara perasaan dan pikiranku, lelah sekali. Lalu hari ini seorang teman mengirimkan pesan, "Kak, boleh aku call ?" "Boleh", kataku. Niatku adalah bercerita padanya dan mendengar cerita dari versinya. Satu jam empat puluh enam menit kami be...
Bagaimana bisa kau menyuruhku mengingat kenangan kita selama ini? Bagaimana bisa kau menyuruhku mengingat sudah sejauh apa kita? Bagaimana bisa? Sementara setelah itu kau mengunggah foto wanita lain dengan tanda hati Saat kulihat, sebentar, aku belum selesai memproses semuanya. Terakhir kali hal ini terjadi, aku sudah menyiapkan semua kemungkinan dan bagaimana aku menanggapinya. Tapi kali ini terlalu cepat, aku belum mempersiapkan diriku. Lalu, saat aku melihat foto yang kau unggah yang dikirimkan temanku padaku, aku tertawa. Disaat yang bersamaan perasaan aneh menyergap. Bukan, bukan perasaan cemburu, sedih, sakit hati. Lebih ke ... Lega, kosong. Lalu aku tersadar, oh ya, itu bagian dari doaku pada Tuhan untukmu. Aku sampai speechless bagaimana Tuhan maha membolak-balikkan keadaan dan perasaan dalam waktu yang sangat singkat.  Bagaimana aku yang menyiapkan semua skenario yang ternyata diluar dari script dunia yang kusiapkan dipatahkan Tuhan dengan caraNya. Bagaimana DIA menunjukk...
Bukankah kali ini aku juga penjahatnya? Sampai aku memutuskan tidak apa menjadi penjahat. Semakin aku bertahan, mengingat, melihat, ternyata aku semenyakitkan itu. Bahkan diriku sendiri tidak tau aku sedang disakiti sebegitunya. Lalu tetap saja aku merasa menjadi penjahat. Aku penjahat yang meninggalkan. Aku terkejut, kemarin aku memaki sebegitu kuatnya hanya karena disuruh bertahan. Aku ternyata sudah semuak itu. Lagi-lagi aku tidak sadar. Rasanya melegakan sekali sudah pergi. Walau mungkin cap penjahat akan menempel selamanya. Tadi kucoba mengingat, tidak, tidak, aku tidak bisa. Mengingat saja membuat aku berkaca-kaca. Aku tidak mau lagi. Sungguh!
Nanti di lain hari Nanti di lain bumi Saat sudah rela hati ini Kuceritakan jalan-jalan yang kutempuh sampai ku bisa relakanmu pergi   Penggalan lagu Bernadya berjudul "Sialnya, hidup harus tetap berjalan" sedang mode on repeat di-playlist ku. Ada sedih yang tak bisa kutangisi lagi, entah bagaimana. Aku saja kadang bingung bagaimana tubuh dan emosiku mengontrol semua rasa kehilangan yang seharusnya menjadi duka tak terkubur. Beberapa hari lalu ayah sahabatku berpulang. Hanya dua hari dirawat karena penyakit jantung, lalu dinyatakan meninggal. Aku yang menjadi salah satu teman yang mendengar pertama berita itu linglung seketika. Aku harus apa? Aku harus bagaimana? Dia menangis, "Bapakku udah pergi", katanya. Aku memeluknya. Lalu bergantian beberapa teman memeluk dan memberi support. Aku diam. Apa kabar setelah meninggalkan dunia, pak? Bagaimana perjalananmu? Purgatorium itu ada tidak? Sudah bertemu Tuhan? Banyak pertanyaan setelah Bapak tidak ada. Setelah lebih dari s...
Rasanya tidak adil tapi hal ini terus menari di kepalaku. Banyak pertanyaan yang tak bisa kulontarkan begitu saja. Ingin sekali rasanya menjadi egois, jika boleh pertanyaan-pertanyaan ini akan kusampaikan tanpa merasa bersalah : Aku harus menunggumu sampai kapan? Melihatmu begitu-begitu saja, tidak ada perubahan, sampai kapan aku harus bersabar? Apa boleh aku memilih pergi saja, berpisah dan mencari jalan hidupku yang lain? Bukan tanpa alasan. Sudah kucoba bersabar dan memikirkan semua pengorbananmu dan kebaikanmu selama ini. Menurutku, kau adalah salah satu orang yang mampu menerima dan meng-handle gilaku yang kadang tak kusadari. Lebih sering hal itu menyakitimu, aku tau. Tapi aku mau bertahan sampai kapan? Ketidakjelasan ini sangat menyiksa! Rasanya aku berhak untuk kebebasanku, lalu aku selalu memikirkan, bagaimana kau? Tapi egoisku sering sekali berkata, hidupmu bukan tanggung jawabku. Itu adalah tanggung jawabmu. Tidak bisa kita saling ketergantungan. Mari saling hidup diatas kak...