Kuceritakan jalan-jalan yang kutempuh sampai ku bisa relakanmu pergi
Penggalan lagu Bernadya berjudul "Sialnya, hidup harus tetap berjalan" sedang mode on repeat di-playlist ku. Ada sedih yang tak bisa kutangisi lagi, entah bagaimana. Aku saja kadang bingung bagaimana tubuh dan emosiku mengontrol semua rasa kehilangan yang seharusnya menjadi duka tak terkubur.
Beberapa hari lalu ayah sahabatku berpulang. Hanya dua hari dirawat karena penyakit jantung, lalu dinyatakan meninggal. Aku yang menjadi salah satu teman yang mendengar pertama berita itu linglung seketika. Aku harus apa? Aku harus bagaimana?
Dia menangis, "Bapakku udah pergi", katanya. Aku memeluknya.
Lalu bergantian beberapa teman memeluk dan memberi support. Aku diam.
Apa kabar setelah meninggalkan dunia, pak?
Bagaimana perjalananmu?
Purgatorium itu ada tidak?
Sudah bertemu Tuhan?
Banyak pertanyaan setelah Bapak tidak ada. Setelah lebih dari setahun berpisah, mengingat kenangan dulu tidak lagi menjadi tangis, walau ingin. Adanya hanya senyum, "Kita banyak menghabiskan banyak waktu baik bersama ya, pak", kataku dalam hati.
Hal yang paling menyebalkan sebagai wanita adalah saat masa pra-menstruasi tiba. Perubahan hormon berdampak paling besar kepada emosi, menjadi sangat sensitif untuk beberapa hal yang tidak perlu.
Aku pernah menangis hampir meraung saat mandi hanya karena rindu pada Bapak. Lalu sudah, meninggalkan mata merah beberapa saat, lalu sialnya, hidup harus tetap berjalan.
Beberapa waktu pernah kulakukan obrolan serius yang dulu pernah kami lakukan dulu, kali ini tentu tanpa tanggapan dari Bapak, tentu hanya didepan makamnya atau lewat lipatan tangan.
Semoga masa hidup mama, aku dan adik-adikku bisa panjang ya, pak. Paling tidak nanti jika bertemu lagi di kehidupan selanjutnya, kami bisa bercerita lebih banyak hal yang kau lewatkan saat meninggalkan dunia duluan.
Sulungmu
Komentar
Posting Komentar